INDUSTRIALISASI dan MACAM-MACAMNYA
A. Definisi dan pengertian industri
Industri adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Usaha perakitan atau assembling dan juga reparasi adalah bagian dari industri. Hasil industri tidak hanya berupa barang, tetapi juga dalam bentuk jasa.
B. Jenis / macam-macam industri berdasarkan tempat bahan baku
1. Industri ekstraktif
Industri ekstraktif adalah industri yang bahan baku diambil langsung dari alam sekitar.
- Contoh : pertanian, perkebunan, perhutanan, perikanan, peternakan, pertambangan, dan lain lain.
2. Industri nonekstaktif
Industri nonekstaktif adalah industri yang bahan baku didapat dari tempat lain selain alam sekitar.
3. Industri fasilitatif
Industri fasilitatif adalah industri yang produk utamanya adalah berbentuk jasa yang dijual kepada para konsumennya.
- Contoh : Asuransi, perbankan, transportasi, ekspedisi, dan lain sebagainya.
C. Golongan / macam industri berdasarkan besar kecil modal
1. Industri padat modal
adalah industri yang dibangun dengan modal yang jumlahnya besar untuk kegiatan operasional maupun pembangunannya
2. Industri padat karya
adalah industri yang lebih dititik beratkan pada sejumlah besar tenaga kerja atau pekerja dalam pembangunan serta pengoperasiannya.
D. Jenis-jenis / macam industri berdasarkan klasifikasi atau penjenisannya
= berdasarkan SK Menteri Perindustrian No.19/M/I/1986 =
1. Industri kimia dasar
contohnya seperti industri semen, obat-obatan, kertas, pupuk, dsb
2. Industri mesin dan logam dasar
misalnya seperti industri pesawat terbang, kendaraan bermotor, tekstil, dll
3. Industri kecil
Contoh seperti industri roti, kompor minyak, makanan ringan, es, minyak goreng curah, dll
4. Aneka industri
misal seperti industri pakaian, industri makanan dan minuman, dan lain-lain.
E. Jenis-jenis / macam industri berdasarkan jumlah tenaga kerja
1. Industri rumah tangga
Adalah industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja berjumlah antara 1-4 orang.
2. Industri kecil
Adalah industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja berjumlah antara 5-19 orang.
3. Industri sedang atau industri menengah
Adalah industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja berjumlah antara 20-99 orang.
4. Industri besar
Adalah industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja berjumlah antara 100 orang atau lebih.
F. Pembagian / penggolongan industri berdasakan pemilihan lokasi
1. Industri yang berorientasi atau menitikberatkan pada pasar (market oriented industry)
Adalah industri yang didirikan sesuai dengan lokasi potensi target konsumen. Industri jenis ini akan mendekati kantong-kantong di mana konsumen potensial berada. Semakin dekat ke pasar akan semakin menjadi lebih baik.
2. Industri yang berorientasi atau menitikberatkan pada tenaga kerja / labor (man power oriented industry)
Adalah industri yang berada pada lokasi di pusat pemukiman penduduk karena bisanya jenis industri tersebut membutuhkan banyak pekerja / pegawai untuk lebih efektif dan efisien.
3. Industri yang berorientasi atau menitikberatkan pada bahan baku (supply oriented industry)
Adalah jenis industri yang mendekati lokasi di mana bahan baku berada untuk memangkas atau memotong biaya transportasi yang besar.
G. Macam-macam / jenis industri berdasarkan produktifitas perorangan
1. Industri primer
adalah industri yang barang-barang produksinya bukan hasil olahan langsung atau tanpa diolah terlebih dahulu
Contohnya adalah hasil produksi pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, dan sebagainya.
2. Industri sekunder
industri sekunder adalah industri yang bahan mentah diolah sehingga menghasilkan barang-barang untuk diolah kembali.
Misalnya adalah pemintalan benang sutra, komponen elektronik, dan sebagainya.
3. Industri tersier
Adalah industri yang produk atau barangnya berupa layanan jasa.
Contoh seperti telekomunikasi, transportasi, perawatan kesehatan, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sumber : http://organisasi.org
Industri adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Usaha perakitan atau assembling dan juga reparasi adalah bagian dari industri. Hasil industri tidak hanya berupa barang, tetapi juga dalam bentuk jasa.
B. Jenis / macam-macam industri berdasarkan tempat bahan baku
1. Industri ekstraktif
Industri ekstraktif adalah industri yang bahan baku diambil langsung dari alam sekitar.
- Contoh : pertanian, perkebunan, perhutanan, perikanan, peternakan, pertambangan, dan lain lain.
2. Industri nonekstaktif
Industri nonekstaktif adalah industri yang bahan baku didapat dari tempat lain selain alam sekitar.
3. Industri fasilitatif
Industri fasilitatif adalah industri yang produk utamanya adalah berbentuk jasa yang dijual kepada para konsumennya.
- Contoh : Asuransi, perbankan, transportasi, ekspedisi, dan lain sebagainya.
C. Golongan / macam industri berdasarkan besar kecil modal
1. Industri padat modal
adalah industri yang dibangun dengan modal yang jumlahnya besar untuk kegiatan operasional maupun pembangunannya
2. Industri padat karya
adalah industri yang lebih dititik beratkan pada sejumlah besar tenaga kerja atau pekerja dalam pembangunan serta pengoperasiannya.
D. Jenis-jenis / macam industri berdasarkan klasifikasi atau penjenisannya
= berdasarkan SK Menteri Perindustrian No.19/M/I/1986 =
1. Industri kimia dasar
contohnya seperti industri semen, obat-obatan, kertas, pupuk, dsb
2. Industri mesin dan logam dasar
misalnya seperti industri pesawat terbang, kendaraan bermotor, tekstil, dll
3. Industri kecil
Contoh seperti industri roti, kompor minyak, makanan ringan, es, minyak goreng curah, dll
4. Aneka industri
misal seperti industri pakaian, industri makanan dan minuman, dan lain-lain.
E. Jenis-jenis / macam industri berdasarkan jumlah tenaga kerja
1. Industri rumah tangga
Adalah industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja berjumlah antara 1-4 orang.
2. Industri kecil
Adalah industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja berjumlah antara 5-19 orang.
3. Industri sedang atau industri menengah
Adalah industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja berjumlah antara 20-99 orang.
4. Industri besar
Adalah industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja berjumlah antara 100 orang atau lebih.
F. Pembagian / penggolongan industri berdasakan pemilihan lokasi
1. Industri yang berorientasi atau menitikberatkan pada pasar (market oriented industry)
Adalah industri yang didirikan sesuai dengan lokasi potensi target konsumen. Industri jenis ini akan mendekati kantong-kantong di mana konsumen potensial berada. Semakin dekat ke pasar akan semakin menjadi lebih baik.
2. Industri yang berorientasi atau menitikberatkan pada tenaga kerja / labor (man power oriented industry)
Adalah industri yang berada pada lokasi di pusat pemukiman penduduk karena bisanya jenis industri tersebut membutuhkan banyak pekerja / pegawai untuk lebih efektif dan efisien.
3. Industri yang berorientasi atau menitikberatkan pada bahan baku (supply oriented industry)
Adalah jenis industri yang mendekati lokasi di mana bahan baku berada untuk memangkas atau memotong biaya transportasi yang besar.
G. Macam-macam / jenis industri berdasarkan produktifitas perorangan
1. Industri primer
adalah industri yang barang-barang produksinya bukan hasil olahan langsung atau tanpa diolah terlebih dahulu
Contohnya adalah hasil produksi pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, dan sebagainya.
2. Industri sekunder
industri sekunder adalah industri yang bahan mentah diolah sehingga menghasilkan barang-barang untuk diolah kembali.
Misalnya adalah pemintalan benang sutra, komponen elektronik, dan sebagainya.
3. Industri tersier
Adalah industri yang produk atau barangnya berupa layanan jasa.
Contoh seperti telekomunikasi, transportasi, perawatan kesehatan, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sumber : http://organisasi.org
Sabtu, Oktober 30, 2010
BAB KETERATURAN SOSIAL
Sebagai makhluk sosial kita tentunya menginginkan kondisi sosial teratur dimana hubungan antar masyarakat berjalan secara dinamis dan seimbang. Dalam sosiologi istilah yang dipakai ialah keteraturan sosial. Keteraturan Sosial adalah suatu kondisi dimana hubungan sosial berjalan secara tertib dan teratur mnurut nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Keteraturan sosial berjalan menurut tahap-tahap sebagai berikut :
a. Pola
Pola adalah bentuk umum dari suatu interaksi yang berlangsung dalam masyarakat yang dijadikan contoh oleh anggota masyarakat.
b. Order
Order adalah tatanan nilai dan norma yang diakui dan ditaati oleh masyarakat.
c. Keajegan
Keajegan menggambarkan suatu kondisi keteraturan yang tetap dan berlangsung terus menerus.
Tertib Sosial
Tertib Sosial ini ialah keselarasan tindakan masyarakat dengan nilai dan norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat.
Hal yang harus kita perhatikan juga serta tidak kalah pentingnya adalah kemungkinan terjadinya konflik sosial dalam kehidupan kita. Konflik sosial ini merupakan pertentangan atau perbedaan antara dua kekuatan disertai tindakan ancaman maupun kekerasan. Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab konlik sosial antara lain :
1. Perbedaan antar individu, yaitu perbedaan pendirian atau pendapat dan perasaan yang akan melahirkan konflik.
2. Perbedaan kebudayaan, yaitu perbedaan kepribadian dan yang berlatar belakang pola kebudayaan yang berbeda dan secara sadar maupun tidak sadar akan menyebabkan timbulnya konflik.
3. Perbedaan kepentingan antar individu atau kelompok, yaitu perbedaan ekonomi, politik, sosial dan budaya
Konflik sosial dalam masyarakat mempunyai dampak positif maupun dampak negatif. Dampak yang terjadi akibat konflik sosial tersebut antara lain, :
A. Dampak positif
a. Bertambahnya solidaritas sesama anggota kelompok, sebagai contoh misalnya jika suatu kelompok terlibat konflik dengan kelompok lain, maka anggota kelompok tersebut akan bersatu melawan kelokpok lain.
b. Memunculkan pribadi yang tahan uji dan tidak mudah putus asa
Dampak yang bersifat positif tersebut lebih condong kepada hal bersifat intern dalam suatu kelompok yang bertikai tersebut.
B Dampak Negatif
a. Adanya konflik akan menimbulkan keretakan antara kelompok yang satu dengan yang lain
b. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban jiwa manusia
c. Berubahnya sikap kepribadian individu yang semula baik menjadi kurang baik
d. Munculnya dominasi kelompok pemenang atas kelompok yang kalah.
Pembentukan Keteraturan sosial
Keteraturan sosial terbentuk karena ada proses sosial yang dinamakan konformitas, yaitu bentuk interaksi sosial yang di dalamnya seseorang berperilaku terhadap yang lain sesuai dengan harapan kelompok. Sejak lahir seorang anak diajarkan oleh orangtuanya untuk berperilaku sebagaimana jenis kelamin yang dimiliki. Bayi perempuan dan bayi laki-laki diperlakukan secara berbeda, diberi pakaian dengan bentuk dan warna yang berbeda, diberi mainan yang berbeda, dst. Proses pembelajaran demikian dalam studi sosiologi disebut sosialisasi.
Sosialisasi merupakan konsep penting dalam sosiologi, sebab seperti diakatakan Mead, bahwa diri manusia berkembang secara bertahap (preparatory, play stage, game stage, dan generalized other) melalui interaksi dengan anggota masyarakat yang lain. EH Sutherland menyatakan bahwa manusia menjadi jahat atau baik diperoleh memalaui proses belajar.
Sosialisasi berlangsung melalui interaksi sosial seorang individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lain, baik yang berlangsung secara equaliter maupun otoriter, secara formal maupun nonformal, secara disadari maupun tidak disadari, di kelompok primer maupun sekundernya. Namun, untuk dapat berinteraksi dan berpartisipasi secara baik dalam kelompok atau masyarakatnya, individu juga harus melakukan sosialisasi. Individu harus mempelajari simbol-simbol dan cara hidup (cara berfikir, berperasaan, dan bertindak) yang berlaku dalam masyarakatnya sehingga ia menjadi wajar atau tidak aneh dan dapat diterima oleh warga lain dalam masyarakatnya.
Agen-agen atau media sosialisasi yang penting antara lain, (1) keluarga, (2) teman sepermainan, (3) lingkungan sekolah, (4) lingkungan kerja, dan (5) media massa. Di lingkungan keluarga peran para significant other (orang penting yang bermakna bagi seseorang), seperti ayah, ibu, kakak, baby sitter, pembantu rumah tangga, dll sangat penting. Kemandirian dan keterampilan sosial lainnya yang sangat penting bagi perkembangan seorang anak, dapat diperoleh melalui pergaulannya dengan teman sepermainan. Di samping mengajarkan tentang keterampilan membaca, menulis, berhitung, cara berfikir kritis dan analistis, rasional dan objektif, lingkungan pendidikan/sekolah juga mengajarkan aturan-aturan tentang kemandirian, prestasi, universalisme, dan spesivisitas.
Peran media massa sebagai agen sosialisasi tidak diragukan lagi. Dari beberapa penelitian ditemukan fakta bahwa sebagian besar waktu anak-anak dan remaja di beberapa kota dihabiskan untuk menonton telivisi, bermain game online, chating, dan berinteraksi antar-sesama melalui blog (web log) seperti face book dan friendster. Ahli media massa menyatakan bahwa media is the message. Homogenisasi (proses menjadi semakin serupanya struktur dan trend berbagai masyarakat dari berbagai belahan bumi) yang merupakan trend global kurang lebih merupakan hasil dari berperannya media massa yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi, khususnya televisi dan internet.
Meskipun sosialisasi telah berlangsung sejak seseorang dilahirkan atau menjadi warga baru suatu masyarakat, tetapi tidak semua orang dapat berhasil dalam proses sosialisasi. Dengan kata lain, tidak semua orang mampu hidup dengan cara-cara yang sesuai dengan harapan sebagaian besar warga masyarakat. Meskipun para anggota masyarakat cenderung konformis, tetapi ada sedikit orang yang perilakunya berbeda atau menyimpang dari kebiasaan-kebiasaan sebagian besar anggota masyarakat. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari perilaku yang sekedar aneh, lucu, nyentrik, masih merupakan individual peculiarities, belum lazim karena terlalu maju, sampai dengan perilaku yang benar-benar merusak tatanan sosia, bahkan jahat (crime).
Kepada sebagian kecil warga masyarakat yang berperilaku berbeda atau menyimpang inilah peran mekanisme dari lembaga-lembaga pengendalian sosial, baik yang formal maupun informal, baik melalui cara-cara yang bersifat persuasif ataupun kurasif, preventif maupun kuratif. Pengendalian sosial menurut Durkheim akan merupakan kekuatan yang berasal dari luar individu yang memaksanya untuk bertindak, berperasaan, dan berfikir sebagaimana fakta sosial, melalui diberlakukannya sanksi-sanksi (fisik, ekonomi, maupun mental) baik yang bersifat positif maupun negatif.
Dengan kata lain, keteraturan sosial akan tercipta apabila: (1) dalam struktur sosial terdapat sistem nilai dan norma sosial yang jelas sebagai salah satu unsurnya; jika tidak demikian akan menimbulkan anomie, (2) individu atau kelompok dalam masyarakat mengetahui dan memahami nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku (peran sosialisasi), (3) individu atau kelompok menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku (internalisasi dan enkulturasi), dan (4) berfungsinya sistem pengendalian sosial (social control).
Keteraturan Sosial dalam Masyarakat Multikultural
Masyarakat multikulrural (majemuk, plural) merupakan masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik (Furnivall, 1967). Majemuk/plural bukan sekedar heterogen. Seperti dinyatakan Cliford Geertz bahwa pluralitas ditunjukkan oleh terbagi-baginya masyarakat ke dalam subsistem-subsistem yang kurang lebih berdiri sendiri dan terikat oleh hal-hal yang bersifat primordial. Dengan cara yang lebih rinci, Pierre van den Berghe menyebutkan beberapa sifat dasar masyarakat majemuk, yaitu: (1) terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok dengan subkultur saling berbeda satu dari lainnya, (2) struktur sosial terbagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer, (3) kurang dapat mengembangkan konsensus mengenai nilai yang bersifat dasar, (4) relatif sering mengalami konflik antar-kelompok, (5) integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan ketergantungan ekonomi, atau (6) dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lainnya.
Mengingat karakteristik masyarakat plural seperti diuraikan di atas, proses integrasi sosial atau pembentukan keteraturan sosialnya akan memerlukan energi yang lebih besar, dan sangat tergantung pada bentuk dan konfigurasi struktur sosialnya serta proses-proses sosial yang ada.
Struktur sosial dalam masyarakat multikultural dapat dibedakan antara intersected dan consolidated. Dalam struktur yang intersected, integrasi atau keteraturan sosial lebih mudah terbentuk karena adanya silang-menyilang keanggotaan dan loyalitas. Sedangkan pada struktur yang consolidated, proses integrasi atau keteraturan sosialnya akan terhambat karena terjadi penguatan identitas dan sentimen kelompok yang diakibatkan oleh terjadinya tumpang tindih parameter dalam pemilahan struktur sosialnya.
Konfigurasi etnis dalam masyarakat multikultural, apakah (1) kompetesi seimbang, (2) maioritas dominan, (3) minoritas dominan, atau (4) fragmentasi, menentukan juga proses integrasi sosialnya. Pada konfigurasi (1) dan (4) memerlukan komunikasi dan adanya koalisi lintas-etnis, sedang pada konfigurasi (2) dan (3) integrasi sosial dapat terbentuk karena adanya dominasi suatu kelompok terhadap lainnya.
Ethnosentrisme, primordialisme, dan berkembangnya politik aliran merupakan faktor yang menghambat integrasi dan keteraturan sosial dalam masyarakat multikultural. Pendidikan multikulturalsme diharapkan dapat menumbuhkan faham relativisme kebudayaan, universalisme, dan berkembangnya kehidupan politik nasional yang non-aliran dan berbasis program dan ideologi nasional.
Keteraturan sosial berjalan menurut tahap-tahap sebagai berikut :
a. Pola
Pola adalah bentuk umum dari suatu interaksi yang berlangsung dalam masyarakat yang dijadikan contoh oleh anggota masyarakat.
b. Order
Order adalah tatanan nilai dan norma yang diakui dan ditaati oleh masyarakat.
c. Keajegan
Keajegan menggambarkan suatu kondisi keteraturan yang tetap dan berlangsung terus menerus.
Tertib Sosial
Tertib Sosial ini ialah keselarasan tindakan masyarakat dengan nilai dan norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat.
Hal yang harus kita perhatikan juga serta tidak kalah pentingnya adalah kemungkinan terjadinya konflik sosial dalam kehidupan kita. Konflik sosial ini merupakan pertentangan atau perbedaan antara dua kekuatan disertai tindakan ancaman maupun kekerasan. Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab konlik sosial antara lain :
1. Perbedaan antar individu, yaitu perbedaan pendirian atau pendapat dan perasaan yang akan melahirkan konflik.
2. Perbedaan kebudayaan, yaitu perbedaan kepribadian dan yang berlatar belakang pola kebudayaan yang berbeda dan secara sadar maupun tidak sadar akan menyebabkan timbulnya konflik.
3. Perbedaan kepentingan antar individu atau kelompok, yaitu perbedaan ekonomi, politik, sosial dan budaya
Konflik sosial dalam masyarakat mempunyai dampak positif maupun dampak negatif. Dampak yang terjadi akibat konflik sosial tersebut antara lain, :
A. Dampak positif
a. Bertambahnya solidaritas sesama anggota kelompok, sebagai contoh misalnya jika suatu kelompok terlibat konflik dengan kelompok lain, maka anggota kelompok tersebut akan bersatu melawan kelokpok lain.
b. Memunculkan pribadi yang tahan uji dan tidak mudah putus asa
Dampak yang bersifat positif tersebut lebih condong kepada hal bersifat intern dalam suatu kelompok yang bertikai tersebut.
B Dampak Negatif
a. Adanya konflik akan menimbulkan keretakan antara kelompok yang satu dengan yang lain
b. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban jiwa manusia
c. Berubahnya sikap kepribadian individu yang semula baik menjadi kurang baik
d. Munculnya dominasi kelompok pemenang atas kelompok yang kalah.
Pembentukan Keteraturan sosial
Keteraturan sosial terbentuk karena ada proses sosial yang dinamakan konformitas, yaitu bentuk interaksi sosial yang di dalamnya seseorang berperilaku terhadap yang lain sesuai dengan harapan kelompok. Sejak lahir seorang anak diajarkan oleh orangtuanya untuk berperilaku sebagaimana jenis kelamin yang dimiliki. Bayi perempuan dan bayi laki-laki diperlakukan secara berbeda, diberi pakaian dengan bentuk dan warna yang berbeda, diberi mainan yang berbeda, dst. Proses pembelajaran demikian dalam studi sosiologi disebut sosialisasi.
Sosialisasi merupakan konsep penting dalam sosiologi, sebab seperti diakatakan Mead, bahwa diri manusia berkembang secara bertahap (preparatory, play stage, game stage, dan generalized other) melalui interaksi dengan anggota masyarakat yang lain. EH Sutherland menyatakan bahwa manusia menjadi jahat atau baik diperoleh memalaui proses belajar.
Sosialisasi berlangsung melalui interaksi sosial seorang individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lain, baik yang berlangsung secara equaliter maupun otoriter, secara formal maupun nonformal, secara disadari maupun tidak disadari, di kelompok primer maupun sekundernya. Namun, untuk dapat berinteraksi dan berpartisipasi secara baik dalam kelompok atau masyarakatnya, individu juga harus melakukan sosialisasi. Individu harus mempelajari simbol-simbol dan cara hidup (cara berfikir, berperasaan, dan bertindak) yang berlaku dalam masyarakatnya sehingga ia menjadi wajar atau tidak aneh dan dapat diterima oleh warga lain dalam masyarakatnya.
Agen-agen atau media sosialisasi yang penting antara lain, (1) keluarga, (2) teman sepermainan, (3) lingkungan sekolah, (4) lingkungan kerja, dan (5) media massa. Di lingkungan keluarga peran para significant other (orang penting yang bermakna bagi seseorang), seperti ayah, ibu, kakak, baby sitter, pembantu rumah tangga, dll sangat penting. Kemandirian dan keterampilan sosial lainnya yang sangat penting bagi perkembangan seorang anak, dapat diperoleh melalui pergaulannya dengan teman sepermainan. Di samping mengajarkan tentang keterampilan membaca, menulis, berhitung, cara berfikir kritis dan analistis, rasional dan objektif, lingkungan pendidikan/sekolah juga mengajarkan aturan-aturan tentang kemandirian, prestasi, universalisme, dan spesivisitas.
Peran media massa sebagai agen sosialisasi tidak diragukan lagi. Dari beberapa penelitian ditemukan fakta bahwa sebagian besar waktu anak-anak dan remaja di beberapa kota dihabiskan untuk menonton telivisi, bermain game online, chating, dan berinteraksi antar-sesama melalui blog (web log) seperti face book dan friendster. Ahli media massa menyatakan bahwa media is the message. Homogenisasi (proses menjadi semakin serupanya struktur dan trend berbagai masyarakat dari berbagai belahan bumi) yang merupakan trend global kurang lebih merupakan hasil dari berperannya media massa yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi, khususnya televisi dan internet.
Meskipun sosialisasi telah berlangsung sejak seseorang dilahirkan atau menjadi warga baru suatu masyarakat, tetapi tidak semua orang dapat berhasil dalam proses sosialisasi. Dengan kata lain, tidak semua orang mampu hidup dengan cara-cara yang sesuai dengan harapan sebagaian besar warga masyarakat. Meskipun para anggota masyarakat cenderung konformis, tetapi ada sedikit orang yang perilakunya berbeda atau menyimpang dari kebiasaan-kebiasaan sebagian besar anggota masyarakat. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari perilaku yang sekedar aneh, lucu, nyentrik, masih merupakan individual peculiarities, belum lazim karena terlalu maju, sampai dengan perilaku yang benar-benar merusak tatanan sosia, bahkan jahat (crime).
Kepada sebagian kecil warga masyarakat yang berperilaku berbeda atau menyimpang inilah peran mekanisme dari lembaga-lembaga pengendalian sosial, baik yang formal maupun informal, baik melalui cara-cara yang bersifat persuasif ataupun kurasif, preventif maupun kuratif. Pengendalian sosial menurut Durkheim akan merupakan kekuatan yang berasal dari luar individu yang memaksanya untuk bertindak, berperasaan, dan berfikir sebagaimana fakta sosial, melalui diberlakukannya sanksi-sanksi (fisik, ekonomi, maupun mental) baik yang bersifat positif maupun negatif.
Dengan kata lain, keteraturan sosial akan tercipta apabila: (1) dalam struktur sosial terdapat sistem nilai dan norma sosial yang jelas sebagai salah satu unsurnya; jika tidak demikian akan menimbulkan anomie, (2) individu atau kelompok dalam masyarakat mengetahui dan memahami nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku (peran sosialisasi), (3) individu atau kelompok menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku (internalisasi dan enkulturasi), dan (4) berfungsinya sistem pengendalian sosial (social control).
Keteraturan Sosial dalam Masyarakat Multikultural
Masyarakat multikulrural (majemuk, plural) merupakan masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik (Furnivall, 1967). Majemuk/plural bukan sekedar heterogen. Seperti dinyatakan Cliford Geertz bahwa pluralitas ditunjukkan oleh terbagi-baginya masyarakat ke dalam subsistem-subsistem yang kurang lebih berdiri sendiri dan terikat oleh hal-hal yang bersifat primordial. Dengan cara yang lebih rinci, Pierre van den Berghe menyebutkan beberapa sifat dasar masyarakat majemuk, yaitu: (1) terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok dengan subkultur saling berbeda satu dari lainnya, (2) struktur sosial terbagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer, (3) kurang dapat mengembangkan konsensus mengenai nilai yang bersifat dasar, (4) relatif sering mengalami konflik antar-kelompok, (5) integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan ketergantungan ekonomi, atau (6) dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lainnya.
Mengingat karakteristik masyarakat plural seperti diuraikan di atas, proses integrasi sosial atau pembentukan keteraturan sosialnya akan memerlukan energi yang lebih besar, dan sangat tergantung pada bentuk dan konfigurasi struktur sosialnya serta proses-proses sosial yang ada.
Struktur sosial dalam masyarakat multikultural dapat dibedakan antara intersected dan consolidated. Dalam struktur yang intersected, integrasi atau keteraturan sosial lebih mudah terbentuk karena adanya silang-menyilang keanggotaan dan loyalitas. Sedangkan pada struktur yang consolidated, proses integrasi atau keteraturan sosialnya akan terhambat karena terjadi penguatan identitas dan sentimen kelompok yang diakibatkan oleh terjadinya tumpang tindih parameter dalam pemilahan struktur sosialnya.
Konfigurasi etnis dalam masyarakat multikultural, apakah (1) kompetesi seimbang, (2) maioritas dominan, (3) minoritas dominan, atau (4) fragmentasi, menentukan juga proses integrasi sosialnya. Pada konfigurasi (1) dan (4) memerlukan komunikasi dan adanya koalisi lintas-etnis, sedang pada konfigurasi (2) dan (3) integrasi sosial dapat terbentuk karena adanya dominasi suatu kelompok terhadap lainnya.
Ethnosentrisme, primordialisme, dan berkembangnya politik aliran merupakan faktor yang menghambat integrasi dan keteraturan sosial dalam masyarakat multikultural. Pendidikan multikulturalsme diharapkan dapat menumbuhkan faham relativisme kebudayaan, universalisme, dan berkembangnya kehidupan politik nasional yang non-aliran dan berbasis program dan ideologi nasional.
Minggu, Oktober 24, 2010
PENGENDALIAN ATAU KONTROL SOSIAL
A. PENGENDALIAN SOSIAL
Dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang semua anggota masyarakat bersedia menaati aturan yang berlaku, hampir bisa dipastikan kehidupan bermasyarakat akan bisa berlangsung dengan lancar dan tertib. Tetapi, berharap semua anggota masyarakat bisa berperilaku selalu taat, tentu merupakan hal yang mahal. Di dalam kenyataan, tentu tidak semua orang akan selalu bersedia dan bisa memenuhi ketentuan atau aturan yang berlaku dan bahkan tidak jarang ada orang-orang tertentu yang sengaja melanggar aturan yang berlaku untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Secara rinci, beberapa faktor yang menyebabkan warga masyarakat berperilaku menyimpang dari norma-norma yang berlaku adalah sebagai berikut ( Soekanto, 181:45)
1. Karena kaidah-kaidah yang ada tidak memuaskan bagi pihak tertentu atau karena tidah memenuhi kebutuhan dasarnya.
2. Karena kaidah yang ada kurang jelas perumusannya sehingga menimbulkan aneka penafsiran dan penerapan.
3. Karena di dalam masyarakat terjadi konflik antara peranan-peranan yang dipegang warga masyarakat, dan
4. Karena memang tidak mungkin untuk mengatur semua kepentingan warga masyarakat secara merata.
Pada situasi di mana orang memperhitungkan bahwa dengan melanggar atau menyimpangi sesuatu norma dia malahan akan bisa memperoleh sesuatu reward atau sesuatu keuntungan lain yang lebih besar, maka di dalam hal demikianlah enforcement demi tegaknya norma lalu terpaksa harus dijalankan dengan sarana suatu kekuatan dari luar. Norma tidak lagi self-enforcing (norma-norma sosial tidak lagi dapat terlaksana atas kekuatannya sendiri ), dan akan gantinya harus dipertahankan oleh petugas-petugas kontrol sosial dengan cara mengancam atau membebankan sanksi-sanksi kepada mereka-mereka yang terbukti melanggar atau menyimpangi norma.
Apabila ternyata norma-norma tidak lagi self-enforcement dan proses sosialisasi tidak cukup memberikan efek-efek yang positif, maka masyarakat – atas dasar kekuatan otoritasnya – mulai bergerak melaksanakan kontrol sosial (social control).
Menurut Soerjono Soekanto, pengendalian sosial adalah suatu proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku.
Obyek (sasaran) pengawasan sosial, adalah perilaku masyarakat itu sendiri. Tujuan pengawasan adalah supaya kehidupan masyarakat berlangsung menurut pola-pola dan kidah-kaidah yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, pengendalian sosial meliputi proses sosial yang direncanakan maupun tidak direncanakan (spontan) untuk mengarahkan seseorang. Juga pengendalian sosiap pada dasarnya merupakan sistem dan proses yang mendidik, mengajak dan bahkan memaksa warga masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma sosial.
1. Sistem mendidik dimaksudkan agar dalam diri seseorang terdapat perubahan sikap dan tingkah laku untuk bertindak sesuai dengan norma-norma.
2. Sistem mengajak bertujuan mengarahkan agar perbuatan seseorang didasarkan pada norma-norma, dan tidak menurut kemauan individu-individu.
3. Sistem memaksa bertujuan untuk mempengaruhi secara tegas agar seseorang bertindak sesuai dengan norma-norma. Bila ia tidak mau menaati kaiah atau norma, maka ia akan dikenakan sanksi.
Dalam pengendalian sosial kita bisa melihat pengendalian sosial berproses pada tiga pola yakni :
1. Pengendalian kelompok terhadap kelompok
2. Pengendalian kelompok terhadap anggota-anggotanya
3. Pengendalian pribadi terhadap pribadi lainnya.
B. JENIS-JENIS PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial dimaksudkan agar anggota masyarkat mematuhi norma-norma sosial sehingga tercipta keselarasan dalam kehidupan sosial. Untuk maksud tersebut, dikenal beberapa jenis pengendalian. Penggolongan ini dibuat menurut sudut pandang dari mana seseorang melihat pengawasan tersebut.
a. Pengendalian preventif merupakan kontrol sosial yang dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran atau dalam versi ”mengancam sanksi” atau usaha pencegahan terhadap terjadinya penyimpangan terhadap norma dan nilai. Jadi, usaha pengendalian sosial yang bersifat preventif dilakukan sebelum terjadi penyimpangan.
b. Pengendalian represif ; kontrol sosial yang dilakukan setelah terjadi pelanggaran dengan maksud hendak memulihkan keadaan agar bisa berjalan seperti semula dengan dijalankan di dalam versi “menjatuhkan atau membebankan, sanksi”. Pengendalian ini berfungsi untuk mengembalikan keserasian yang terganggu akibat adanya pelanggaran norma atau perilaku meyimpang. Untuk mengembalikan keadaan seperti semula, perlu diadakan pemulihan. Jadi, pengendalian disini bertujuan untuk menyadarkan pihak yang berperilaku menyimpang tentang akibat dari penyimpangan tersebut, sekaligus agar dia mematuhi norma-norma sosial.
c. Pengendalian sosial gabungan merupakan usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan (preventif) sekaligus mengembalikan penyimpangan yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial (represif). Usaha pengendalian dengan memadukan ciri preventif dan represif ini dimaksudkan agar suatu perilaku tidak sampai menyimpang dari norma-norma dan kalaupun terjadi penyimpangan itu tidak sampai merugikan yang bersangkutan maupun orang lain.
d. Pengendalian resmi (formal) ialah pengawasan yang didasarkan atas penugasan oleh badan-badan resmi, misalnya negara maupun agama.
e. Pengawasan tidak resmi (informal) dilaksanakan demi terpeliharanya peraturan-peraturan yang tidak resmi milik masyarakat. Dikatakan tidak resmi karena peraturan itu sendiri tidak dirumuskan dengan jelas, tidak ditemukan dalam hukum tertulis, tetapi hanya diingatkan oleh warga masyarakat.
f. Pengendalian institusional ialah pengaruh yang datang dari suatu pola kebudayaan yang dimiliki lembaga (institusi) tertentu. Pola-pola kelakuan dan kiadah-kaidah lembaga itu tidak saja mengontrol para anggota lembaga, tetapi juga warga masyarakat yang berada di luar lembaga tersebut.
g. Pengendalian berpribadi ialah pengaruh baik atau buruk yang datang dari orang tertentu. Artinya, tokoh yang berpengaruh itu dapat dikenal. Bahkan silsilah dan riwayat hidupnya, dan teristimewa ajarannya juga dikenal.
C. CARA DAN FUNGSI PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial dapat dilaksanakan melalui :
1. Sosialisasi
Sosialisasi dilakukan agar anggota masyarkat bertingkah laku seperti yang diharapkan tanpa paksaan. Usaha penanaman pengertian tentang nilai dan norma kepada anggota masyarakat diberikan melakui jalur formal dan informal secara rutin.
2. Tekanan Sosial
Tekanan sosial perlu dilakukan agar masyarakat sadar dan mau menyesuaikan diri dengan aturan kelompok. Masyarakat dapat memberi sanksi kepada orang yang melanggar aturan kelompok tersebut.
Pengendalian sosial pada kelompok primer (kelompok masyarkat kecil yang sifatnya akrab dan informal seperti keluarga, kelompok bermain, klik ) biasanya bersifat informal, spontan, dan tidak direncanakan, biasanya berupa ejekan, menertawakan, pergunjingan (gosip) dan pengasingan.
Pengendalian sosial yang diberikan kepada kelompok sekunder (kelompok masyarkat yang lebih besar yang tidak bersifat pribadi (impersonal) dan mempunyai tujuan yang khusus seperti serikat buruh, perkumpulan seniman, dan perkumpulan wartawan ) lebih bersifat formal. Alat pengendalian sosial berupa peraturan resmi dan tata cara yang standar, kenaikan pangkat, pemberian gelar, imbalan dan hadiah dan sanksi serta hukuman formal.
3. Kekuatan dan kekuasaan dalam bentuk peraturan hukum dan hukuman formal
Kekuatan da kekuasaan akan dilakukan jika cara sosialisasi dan tekanan sosial gagal. Keadaan itu terpaksa dipergunakan pada setiap masyarakat untuk mengarahkan tingkah laku dalam menyesuaikan diri dengan nilai dan norma sosial.
Disamping cara di atas juga agar proses pengendalian berlangsung secara efektif dan mencapai tujuan yang diinginkan, perlu dberlakukan cara-cara tertentu sesuai dengan kondisi budaya yang berlaku.
a. Pengendalian tanpa kekerasan (persuasi); bisasanya dilakukan terhadap yang hidup dalam keadaan relatif tenteram. Sebagian besar nilai dan norma telah melembaga dan mendarah daging dalam diri warga masyarakat.
b. Pengendalian dengan kekerasan (koersi) ; biasanya dilakukan bagi masyarakat yang kurang tenteram, misalnya GPK (Gerakan Pengacau Keamanan).
Jenis pengendalian dengan kekerasan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni kompulsi dan pervasi.
1) Kompulsi (compulsion) ialah pemaksaan terhadap seseorang agar taat dan patuh tehadap norma-norma sosial yang berlaku.
2) Pervasi ( pervasion ) ialah penanaman norma-norma yang ada secara berulang -ulang dengan harapan bahwa hal tersebut dapat masuk ke dalam kesadaran seseorang. Dengan demikian, orang tadi akan mengubah sikapnya. Misalnya, bimbingan yang dilakukan terus menerus.
2. Fungsi Pengendalian Sosial
Koentjaraningrat menyebut sekurang-kurangnya lima macam fungsi pengendalian sosial, yaitu :
a. Mempertebal keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma.
b. Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma.
c. Mengembangkan rasa malu
d. Mengembangkan rasa takut
e. Menciptakan sistem hukum
Kontrol sosial – di dalam arti mengendalikan tingkah pekerti-tingkah pekerti warga masyarakat agar selalu tetap konform dengan keharusan-keharusan norma-hampir selalu dijalankan dengan bersarankan kekuatan sanksi (sarana yang lain:pemberian incentive positif). Adapun yang dimaksud dengan sanksi dalam sosiologi ialah sesuatu bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh masyarakat kepada seorang warga masy arakat yang terbukti melanggar atau menyimpangi keharusan norma sosial, dengan tujuan agar warga masyarakat ini kelak tidak lagi melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap norma tersebut.
Ada tiga jenis sanksi yang digunakan di dalam usaha-usaha pelaksanaan kontrol sosial ini, yaitu :
1. Sanksi yang bersifat fisik,
2. Sanksi yang bersifat psikologik, dan
3. Sanksi yang bersifat ekonomik.
Pada praktiknya, ketiga jenis sanksi tersebut di atas itu sering kali terpaksa diterapkan secara bersamaan tanpa bisa dipisah-pisahkan, misalnya kalau seorang hakim menjatuhkan pidana penjara kepada seorang terdakwa; ini berarti bahwa sekaligus terdakwa tersebut dikenai sanksi fisik (karena dirampas kebebasan fisiknya), sanksi psikologik (karena terasakan olehnya adanya perasaan aib dan malu menjadi orang hukuman), dan sanksi ekonomik ( karena dilenyapkan kesempatan meneruskan pekerjaannya guna menghasilkan uang dan kekayaan ).
Sementara itu, untuk mengusahakan terjadinya konformitas, kontrol sosial sesungguhnya juga dilaksanakan dengan menggunakan incentive-incentive positif yaitu dorongan positif yang akan membantu individu-individu untuk segera meninggalkan pekerti-pekertinya yang salah, Sebagaimana halnya dengan sanksi-sanksi, pun incentive itu bisa dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Incentive yang bersifat fisik;
2. Incentive yang bersifat psikologik; dan
3. Incentive yang bersif ekonomik.
Incentive fisik tidaklah begitu banyak ragamnya, serta pula tidak begitu mudah diadakan. Pun, andaikata bisa diberikan, rasa nikmat jasmaniah yang diperoleh daripadanya tidaklah akan sampai seekstrem rasa derita yang dirasakan di dalam sanksi fisik. Jabatan tangan, usapan tangan di kepala, pelukan, ciuman tidaklah akan sebanding dengan ekstremitas penderitaan sanksi fisik seperti hukuman cambuk, hukuman kerja paksa, hukuman gantung dan lain sebagainya. Bernilai sekadar sebagai simbol, kebanyakan incentive fisik lebih tepat dirasakan sebagai incentive psikologik. Sementara itu, disamping incentive fisik dan psikologik tidak kalah pentingnya adalah incentive ekonomik. Incentive ekonomik kebanyakan berwujud hadiah-hadiah barang atau ke arah penghasilan uang yang lebih banyak.
Apakah kontrol sosial itu selalu cukup efektif untuk mendorong atau memaksa warga masyarakat agar selalu conform dengan norma-norma sosial (yang dengan demikian menyebabkan masyarakat selalu berada di dalam keadaan tertib ) ? Ternyata tidak. Usaha-usaha kontrol sosial ternyata tidak berhasil menjamin terselenggaranya ketertiban masyarakat secara mutlak, tanpa ada pelanggaran atau penyimpangan norma-norma sosial satu kalipun.
Ada lima faktor yang ikut menentukan sampai seberapa jauhkah sesungguhnya sesuatu usaha kontrol sosial oleh kelompok masyarakat itu bisa dilaksanakan secara efektif, yaitu :
1. Menarik-tidaknya kelompok masyarakat itu bagi warga-warga yang bersangkutan ;
2. Otonom-tidaknya kelompok masyarakat itu;
3. Beragam-tidaknya norma-norma yang berlaku di dalam kelompok itu,
4. Besar-kecilnya dan bersifat anomie-tidaknya kelompok masyarakat yang bersangkutan; dan
5. Toleran-tidaknya sikap petugas kontrol sosial terhadap pelanggaran yang terjadi.
1. Menarik-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu Bagi Warga yang Bersangkutan.
Pada umumnya, kian menarik sesuatu kelompok bagi warganya, kian besarlah efektivitas kontrol sosial atas warga tersebut, sehingga tingkah pekerti-tingkah pekerti warga itu mudah dikontrol conform dengan keharusan-keharusan norma yang berlaku. Pada kelompok yang disukai oleh warganya, kuatlah kecendrungan pada pihak warga-warga itu untuk berusaha sebaik-baiknya agar tidak melanggar norma kelompok. Norma-norma pun menjadi self-enforcing. Apabila terjadi pelanggaran, dengan mudah si pelanggar itu dikontrol dan dikembalikan taat mengikuti keharusan norma. Sebaliknya, apabila kelompok itu tidak menarik bagi warganya, maka berkuranglah motif pada pihak warga kelompok untuk selalu berusaha menaati norma-norma sehingga karenanya-bagaimanapun juga keras dan tegasnya kontrol sosial dilaksanakan-tetaplah juga banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
2. Otonom-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu.
Makin otonom suatu kelompok, makin efektiflah kontrol sosialnya, dan akan semakin sedikitlah jumlah penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di atas norma-norma kelompok. Dalil tersebut diperoleh dari hasil studi Marsh.
Penyelidikan Marsh ini dapat dipakai sebagai landasan teoritis untuk menjelaskan mengapa kontrol sosial efektif sekali berlaku di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-kecil dan terpencil; dan sebaliknya mengapa di dalam masyarakt kota besar-yang terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial besar maupun kecil itu – kontrol sosial bagaimanapun juga kerasnya dilaksanakan tetap saja kurang efektif menghadapi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
3. Beragam-Tidaknya Norma-norma yang Berlaku di dalam Kelompok Itu
Makin beragam macam norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok-lebih-lebih apabila antara norma-norma itu tidak ada kesesuaian, atau apabila malahan bertentangan-maka semakin berkuranglah efektivitas kontrol sosial yang berfungsi menegakkannya. Dalil ini pernah dibuktikan di dalam sebuah studi eksperimental yang dilakukan oleh Meyers.
Dihadapkan pada sekian banyak norma-norma yang saling berlainan dan saling berlawanan, maka individu-individu warga masyarakat lalu silit menyimpulkan adanya sesuatu gambaran sistem yang tertib, konsisten, dan konsekuen. Pelanggaran atas norma yang satu (demi kepentingan pribadi) sering kali malahan terpuji sebagai konformitas yang konsekuen pada norma yang lainnya. Maka, dalam keadaan demikian itu, jelas bahwa masyarakat tidak akan mungkin mengharapkan dapat terselenggaranya kontrol sosial secara efektif.
4. Besar-Kecilnya dan Bersifat Anomie-Tidaknya Kelompok Masyarakat yang Bersangkutan
Semakin besar suatu kelompok masyarakat, semakin sukarlah orang saling mengidentifikasi dan saling mengenali sesama warga kelompok. Sehingga, dengan bersembunyi di balik keadaan anomie (keadaan tak bisa saling mengenal), samakin bebaslah individu-individu untuk berbuat “semaunya”, dan kontrol sosialpun akan lumpuh tanpa daya.
Hal demikian itu dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masyarakat-masyarakat primitif yang kecil-kecil, di mana segala interaksi sosial lebih bersifat langsung dan face-to-face. Tanpa bisa bersembunyi di balik sesuatu anomie, dan tanpa bisa sedikit pun memanipulasi situasi heterogenitas norma, maka warga masayarakat di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-primitif itu hampir-hampir tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari kontrol sosial. Itulah sebabnya maka kontrol sosial di masyarakat primitif itu selalu terasa amat kuatnya, sampai-sampai suatu kontrol sosial yang informal sifatnya-seperti ejekan dan sindiran-itu pun sudah cukup kuat untuk menekan individu-individu agar tetap memerhatikan apa yang telah terlazim dan diharuskan.
5. Toleran-Tidaknya Sikap Petugas Kontrol Sosial Terhadap Pelanggaran yang Terjadi
Sering kali kontrol sosial tidak dapat terlaksana secara penuh dan konsekuen, bukan kondisi-kondisi objektif yang tidak memungkinkan, melainkan karena sikap toleran (menenggang) agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Mengambil sikap toleran, pelaksana kontrol sosial itu sering membiarkan begitu saja sementara pelanggar norma lepas dari sanksiyang seharusnya dijatuhkan.
Adapun toleransi pelaksana-pelaksana kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi umumnya tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut :
a. Ekstrim-tidaknya pelanggaran norma itu;
b. Keadaan situasi sosial pada ketika pelanggaran norma itu terjadi;
c. Status dan reputasi individu yang ternyata melakukan pelanggaran; dan
d. Asasi-tidaknya nilai moral-yang terkandung di dalam norma-yang terlanggar.
Kontrol atau pengendalian sosial mengacu kepada berbagai alat yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk mengembalikan anggota-anggota yang kepala batu ke dalam relnya. Tidak ada masyarakat yang bisa berjalan tanpa adanya kontrol sosial.
Bentuk kontrol sosial atau cara-cara pemaksaan konformitas relatif beragam. Cara pengendalian masyarakat dapat dijalankan dengan cara persuasif atau dengan cara koersif. Cara persuasif terjadi apabila pengendalian sosial ditekankan pada usaha untuk mengajak atau membimbing, sedangkan cara koersif tekanan diletakkan pada kekeraan atau ancaman dengan mempergunakan atau mengandalkan kekuatan fisik. Menurut Soekanto (1981;42) cara mana yang lebih baik senantiasa tergantung pada situasi yang dihadapi dan tujuan yang hendak dicapai, maupun jangka waktu yang dikehendaki.
Di dalam masyarakat yang makin kompleks dan modern, usaha penegakan kaidah sosial tidak lagi bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan kesadaran warga masyarakat atau pada rasa sungkan warga masyarakat itu sendiri. Usaha penegakan kaidah sosial di dalam masyarakat yang makin modern, tak pelak harus dilakukan dan dibantu oleh kehadiran aparat petugas kontrol sosial.
Di dalam berbagai masyarakat, beberapa aparat petugas kontrol sosial yang lazim dikenal adalah aparat kepolisian, pengadilan, sekolah, lembaga keagamaan, adat, tokoh masyarakat-seperti kiai-pendeta-tokoh yang dituakan, dan sebagainya.
“Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, J.dwi Narwoko-Bagong Suyatno (ed.)
Pengertian Pengendalian Sosial
Pengertian pengendalian sosial menurut para sosiolog,
antara lain sebagai berikut.
a. Menurut Joseph S. Roucek
Pengendalian sosial adalah suatu istilah kolektif yang
mengacu pada proses terencana ataupun tidak terencana
yang mengajarkan, membujuk atau memaksa individu untuk
menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilainilai
kelompok.
b. Menurut Peter L. Berger
Pengendalian sosial adalah berbagai cara yang digunakan
oleh masyarakat untuk menertibkan anggota-anggotanya
membangkang.
c. Menurut Horton
Pengendalian sosial adalah segenap cara dan proses yang
ditempuh oleh sekelompok orang atau masyarakat, sehingga
para anggotanya dapat bertindak sesuai harapan kelompok
atau masyarakat.
d. Menurut Soetandyo Wignyo Subroto
Pengendalian sosial adalah sanksi, yaitu suatu bentuk penderitaan
yang secara sengaja diberikan oleh masyarakat.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
pengendalian sosial adalah proses yang digunakan oleh
seseorang atau kelompok untuk memengaruhi, mengajak,
bahkan memaksa individu atau masyarakat agar berperilaku
sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat,
sehingga tercipta ketertiban di masyarakat.
Sifat-Sifat Pengendalian Sosial
Sifat-sifat pengendalian sosial dapat dibedakan menjadi
tiga sebagai berikut.
a. Preventif
Pengendalian sosial bersifat preventif adalah pengen-dalin
sosial yang dilakukan sebelum terjadi penyimpangan
terhadap nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Dengan kata lain tindakan preventif merupakan tindakan
pencegahan.
Contoh:
1) Seorang ibu melarang anak lelakinya merokok karena
merokok dapat merusak kesehatan.
2) Polisi menegur pemakai jalan raya yang melanggar
rambu-rambu lalu lintas.
b. Kuratif
Pengendalian sosial bersifat kuratif adalah pengendalian
sosial yang dilakukan pada saat terjadi penyimpangan
sosial.
Contoh:
Seorang guru menegur dan menasihati siswanya karena
ketahuan menyontek pada saat ulangan.
c. Represif
Pengendalian sosial bersifat represif adalah pengendalian
sosial yang bertujuan mengembalikan keserasian yang
pernah terganggu karena terjadinya suatu pelanggaran.
Pengendalian ini dilakukan setelah seseorang melakukan
penyimpangan.
Contoh:
Seorang guru memberi tambahan pekerjaan rumah dua
kali lipat saat mengetahui siswanya tidak mengerjakan
pekerjaan rumah yang ditugaskan padanya.
Jenis-Jenis Pengendalian Sosial
Dalam pergaulan sehari-hari kita akan menjumpai
berbagai jenis pengendalian sosial yang digunakan untuk
mencegah atau mengatasi perilaku menyimpang. Jenis
pengendalian tersebut antara lain berikut ini.
a. Gosip atau desas-desus
Gosip atau desas-desus adalah bentuk pengendalian
sosial atau kritik sosial yang dilontarkan secara tertutup
oleh masyarakat.
106 Sosiologi SMA Jilid 1
Gosip sering kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari di masyarakat, yakni apabila ada
individu/kelompok yang tindakannya
menyimpang dari nilai-nilai dan norma-norma
sosial yang berlaku, maka individu tersebut
akan menjadi bahan pembicaraan masyarakat.
Contoh: apabila ada seseorang siswa
SMA diketahui temannya terlibat penyalahgunaan
obat terlarang dan minum-minuman
keras. Siswa tersebut akan menjadi bahan
pembicaraan/gosip teman-teman sekolahnya
yang kemudian berkembang menjadi bahan
pembicaraan guru, orang tua, dan masyarakat sekitar. Kritik
sosial yang dilakukan masyarakat dalam bentuk gosip/
desas-desus tersebut dapat berperan sebagai pengendalian
sosial. Dari adanya gosip tersebut pelaku merasakan
bahwa dia melakukan suatu pelanggaran norma-norma
sosial. Misalnya seorang gadis yang hamil, ia segera
mendesak pacarnya untuk menikahi, atau meminta segera
dinikahkan secara resmi oleh orang tuanya. Demikian pula
bagi pelajar SMA yang terlibat penggunaan obat terlarang,
ia akan segera menghentikan tindakannya.
b. Teguran
Teguran adalah kritik sosial yang dilontarkan secara
terbuka oleh masyarakat terhadap warga masyarakat yang
berperilaku menyimpang. Teguran ini umumnya dilakukan
oleh orang-orang dewasa seperti para orang tua, guru,
tokoh-tokoh masyarakat dan para pemimpin masyarakat.
Dalam pelaksanaannya teguran ada dua macam, yaitu
teguran lisan dan teguran tertulis. Teguran lisan adalah
teguran yang dilontarkan secara lisan kepada individu yang
berperilaku menyimpang. Misalnya teguran orang tua
secara langsung terhadap anaknya yang berperilaku
menyimpang, teguran guru kepada siswa yang melanggar,
teguran lisan pemimpin terhadap bawahannya yang
melanggar, dan sebagainya.
Adapun teguran tertulis adalah bentuk teguran yang
dilakukan secara tidak langsung, tetapi melalui surat. Teguran
tertulis pada umumnya dilakukan oleh pemimpin kepada
bawahannya karena kewenangan dalam suatu organisasi
atau instansi tertentu. Misalnya teguran tertulis melalui
surat dari kepala sekolah terhadap guru yang melanggar,
teguran tertulis dari kepala desa kepada aparatnya yang
melanggar, teguran tertulis dari gubernur kepada bupatiyang melanggar, dan sebagainya. Kritik sosial bentuk
teguran ini dapat berperan pula sebagai pengendalian sosial,
karena mereka yang berperilaku menyimpang itu jika ditegur
atasannya cenderung memperbaiki sikap dan tindakannya.
c. Pendidikan
Pendidikan juga berperan sebagai alat pengendalian
sosial, karena pendidikan dapat membina dan mengarahkan
warga masyarakat (terutama anak sekolah) kepada pembentukan
sikap dan tindakan yang bertanggung jawab terhadap
dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Menurut pendapat para ahli sosiologi maupun ahli
psikologi, bahwa pengaruh pendidikan sangat menentukan
proses pembentukan kepribadian seseorang. Individu yang
berpendidikan baik cenderung berperilaku lebih baik dari
pada individu yang kurang berpendidikan. Berpendidikan
artinya individu mempunyai, mengalami, dan mengikuti
pendidikan yang sempurna dalam kehidupannya sehingga
ia dapat membedakan mana yang benar dan salah, mana
yang baik dan buruk, atau mana yang boleh dan tidak boleh.
Sebaliknya individu yang kurang pendidikan, ia cenderung
mengalami kesulitan penyesuaian dirinya dalam interaksi
sosial di masyarakat.
Berdasarkan asumsi tersebut, maka pendidikan dapat
berfungsi untuk mencegah dan mengatasi perilaku
menyimpang dari warga masyarakat.
d. Agama
Sama halnya dengan pendidikan, agama pun dapat
berperan sebagai alat pengendalian sosial. Agama dapat
memengaruhi sikap dan perilaku para pemeluknya dalam
pergaulan hidup bermasyarakat. Agama pada dasarnya
berisikan perintah, larangan, dan anjuran kepada pemeluk
dalam menjalani hidup sebagai makhluk pribadi, makhluk
Tuhan, dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Norma-norma
agama berfungsi untuk membimbing dan mengarahkan para
pemeluk agama dalam bersikap dan bertindak di
masyarakat.
Apabila individu yang beragama tersebut berperilaku
menyimpang atau bertindak melanggar norma-norma
agama, tentu ia akan dicekam perasaan bersalah atau
berdosa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bagi penganut
agama yang baik tentu ia akan berusaha menghindari
perilaku yang melanggar norma-norma agamanya. Dengan
demikian jelaslah, bahwa agama sangat berperan sebagai
alat pengendalian sosial.
108 Sosiologi SMA Jilid 1
e. Hukuman (Punishment)
Menyimak keempat jenis pengendalian sosial di
depan, yakni gosip, teguran, pendidikan, dan agama
dirasakan kurang tegas dan nyata sanksinya bagi individu
yang berperilaku menyimpang. Dalam kenyataan seharihari
di dalam masyarakat, terdapat pula individu-individu
yang tebal muka. Sudah hilang rasa
malunya atau tidak percaya adanya
siksa Tuhan. Mereka tentu tidak
jera sekalipun digosipkan, ditegur,
ataupun diberikan pendidikan/pengarahan.
Oleh karena itu diperlukan
adanya hukum fisik seperti hukuman
mati, hukuman penjara, hukuman
denda atau pencabutan hak-hak
oleh masya-rakat/pemerintah.
Dengan adanya sanksi hukuman yang keras tersebut,
diharapkan bisa membuat jera bagi para pelanggar, sehingga
tidak berani mengulanginya lagi. Tidak hanya si pelaku,
tetapi juga berpengaruh besar terhadap warga masyarakat
lainnya. Jadi, jelas bahwa hukuman merupakan alat
pengendalian sosial yang paling keras dan tegas dibandingkan
jenis pengendalian sosial. Misalnya individu yang
melakukan pemerkosaan, penyalahgunaan narkotika dan
obat-obatan terlarang, pencurian ataupun pembunuhan.
Mereka tentu tidak akan banyak pengaruhnya bila hanya
digosipkan atau ditegur begitu saja, melainkan harus diberi
hukuman yang seberat-beratnya agar tidak mengulangi lagi
perbuatan tersebut.
6. Cara-Cara Pengendalian Sosial
Ada beberapa macam cara pengendalian sosial agar
individu dan masyarakat berperilaku sesuai dengan apa yang
diharapkan. Cara pengendalian tersebut antara lain sebagai
berikut.
a. Cara persuasif
Cara persuasif dalam pengendalian sosial dilakukan
dengan menekankan pada usaha mengajak dan
membimbing anggota masyarakat agar bertindak sesuai
dengan cara persuasif. Pengendalian sosial dengan cara
persuasif biasanya diterapkan pada masyarakat yang relatif
tenteram, norma dan nilai sosial sudah melembaga atau
menyatu dalam diri para warga masyarakatnya. Selain itu
cara persuasif juga menekankan pada segi nilai
pengetahuan (kognitif) dan nilai sikap (afektif).
Sumber: Ensiklopedi Umum
untuk Pelajar, 2005
�� Gambar 5.6 Hukuman
penjara merupakan sanksi
keras agar para pelanggar
kejahatan jera dan tidak
berani mengulanginya.
Penyimpangan dan Pengendalian Sosial 109
Contoh cara persuasif:
Seorang guru membimbing dan membina siswanya yang
kedapatan menyontek pada saat ulangan. Guru memberikan
pengertian bahwa menyontek itu menunjukkan sikap tidak
percaya diri dan kelak di kemudian hari menjadikan ia
seorang yang bodoh dan tidak jujur.
b. Cara koersif
Cara koersif dalam pengendalian sosial dilakukan
dengan kekerasan atau paksaan. Biasanya cara koersif
dilakukan dengan menggunakan kekuatan fisik. Cara
koersif dilakukan sebagai upaya terakhir apabila cara
pengendalian persuasif tidak berhasil. Selain itu cara koersif
akan membawa dampak negatif secara langsung maupun
tidak langsung, karena menyelesaikan masalah dengan
kekerasan akan menimbulkan banyak kekerasan pula.
Pengendalian sosial dengan cara koersif dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut.
1) Kompulsif (compulsion) yaitu kondisi/situasi yang
sengaja diciptakan sehingga seseorang terpaksa taat
atau patuh pada norma-norma.
Misalnya: untuk membuat jera para pencopet, apabila
tertangkap basah langsung dikeroyok dan dihakimi
massa.
2) Pervasi (pengisian) yaitu penanaman norma secara
berulang-ulang dengan harapan bahwa norma tersebut
masuk ke dalam kesadaran seseorang, sehingga
orang tersebut akan mengubah sikapnya sesuai yang
diinginkan.
Misalnya: bimbingan orang tua terhadap anak-anaknya
secara terus-menerus.
Sumber bse, sosiologi.
A. PENGENDALIAN SOSIAL
Dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang semua anggota masyarakat bersedia menaati aturan yang berlaku, hampir bisa dipastikan kehidupan bermasyarakat akan bisa berlangsung dengan lancar dan tertib. Tetapi, berharap semua anggota masyarakat bisa berperilaku selalu taat, tentu merupakan hal yang mahal. Di dalam kenyataan, tentu tidak semua orang akan selalu bersedia dan bisa memenuhi ketentuan atau aturan yang berlaku dan bahkan tidak jarang ada orang-orang tertentu yang sengaja melanggar aturan yang berlaku untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Secara rinci, beberapa faktor yang menyebabkan warga masyarakat berperilaku menyimpang dari norma-norma yang berlaku adalah sebagai berikut ( Soekanto, 181:45)
1. Karena kaidah-kaidah yang ada tidak memuaskan bagi pihak tertentu atau karena tidah memenuhi kebutuhan dasarnya.
2. Karena kaidah yang ada kurang jelas perumusannya sehingga menimbulkan aneka penafsiran dan penerapan.
3. Karena di dalam masyarakat terjadi konflik antara peranan-peranan yang dipegang warga masyarakat, dan
4. Karena memang tidak mungkin untuk mengatur semua kepentingan warga masyarakat secara merata.
Pada situasi di mana orang memperhitungkan bahwa dengan melanggar atau menyimpangi sesuatu norma dia malahan akan bisa memperoleh sesuatu reward atau sesuatu keuntungan lain yang lebih besar, maka di dalam hal demikianlah enforcement demi tegaknya norma lalu terpaksa harus dijalankan dengan sarana suatu kekuatan dari luar. Norma tidak lagi self-enforcing (norma-norma sosial tidak lagi dapat terlaksana atas kekuatannya sendiri ), dan akan gantinya harus dipertahankan oleh petugas-petugas kontrol sosial dengan cara mengancam atau membebankan sanksi-sanksi kepada mereka-mereka yang terbukti melanggar atau menyimpangi norma.
Apabila ternyata norma-norma tidak lagi self-enforcement dan proses sosialisasi tidak cukup memberikan efek-efek yang positif, maka masyarakat – atas dasar kekuatan otoritasnya – mulai bergerak melaksanakan kontrol sosial (social control).
Menurut Soerjono Soekanto, pengendalian sosial adalah suatu proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku.
Obyek (sasaran) pengawasan sosial, adalah perilaku masyarakat itu sendiri. Tujuan pengawasan adalah supaya kehidupan masyarakat berlangsung menurut pola-pola dan kidah-kaidah yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, pengendalian sosial meliputi proses sosial yang direncanakan maupun tidak direncanakan (spontan) untuk mengarahkan seseorang. Juga pengendalian sosiap pada dasarnya merupakan sistem dan proses yang mendidik, mengajak dan bahkan memaksa warga masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma sosial.
1. Sistem mendidik dimaksudkan agar dalam diri seseorang terdapat perubahan sikap dan tingkah laku untuk bertindak sesuai dengan norma-norma.
2. Sistem mengajak bertujuan mengarahkan agar perbuatan seseorang didasarkan pada norma-norma, dan tidak menurut kemauan individu-individu.
3. Sistem memaksa bertujuan untuk mempengaruhi secara tegas agar seseorang bertindak sesuai dengan norma-norma. Bila ia tidak mau menaati kaiah atau norma, maka ia akan dikenakan sanksi.
Dalam pengendalian sosial kita bisa melihat pengendalian sosial berproses pada tiga pola yakni :
1. Pengendalian kelompok terhadap kelompok
2. Pengendalian kelompok terhadap anggota-anggotanya
3. Pengendalian pribadi terhadap pribadi lainnya.
B. JENIS-JENIS PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial dimaksudkan agar anggota masyarkat mematuhi norma-norma sosial sehingga tercipta keselarasan dalam kehidupan sosial. Untuk maksud tersebut, dikenal beberapa jenis pengendalian. Penggolongan ini dibuat menurut sudut pandang dari mana seseorang melihat pengawasan tersebut.
a. Pengendalian preventif merupakan kontrol sosial yang dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran atau dalam versi ”mengancam sanksi” atau usaha pencegahan terhadap terjadinya penyimpangan terhadap norma dan nilai. Jadi, usaha pengendalian sosial yang bersifat preventif dilakukan sebelum terjadi penyimpangan.
b. Pengendalian represif ; kontrol sosial yang dilakukan setelah terjadi pelanggaran dengan maksud hendak memulihkan keadaan agar bisa berjalan seperti semula dengan dijalankan di dalam versi “menjatuhkan atau membebankan, sanksi”. Pengendalian ini berfungsi untuk mengembalikan keserasian yang terganggu akibat adanya pelanggaran norma atau perilaku meyimpang. Untuk mengembalikan keadaan seperti semula, perlu diadakan pemulihan. Jadi, pengendalian disini bertujuan untuk menyadarkan pihak yang berperilaku menyimpang tentang akibat dari penyimpangan tersebut, sekaligus agar dia mematuhi norma-norma sosial.
c. Pengendalian sosial gabungan merupakan usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan (preventif) sekaligus mengembalikan penyimpangan yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial (represif). Usaha pengendalian dengan memadukan ciri preventif dan represif ini dimaksudkan agar suatu perilaku tidak sampai menyimpang dari norma-norma dan kalaupun terjadi penyimpangan itu tidak sampai merugikan yang bersangkutan maupun orang lain.
d. Pengendalian resmi (formal) ialah pengawasan yang didasarkan atas penugasan oleh badan-badan resmi, misalnya negara maupun agama.
e. Pengawasan tidak resmi (informal) dilaksanakan demi terpeliharanya peraturan-peraturan yang tidak resmi milik masyarakat. Dikatakan tidak resmi karena peraturan itu sendiri tidak dirumuskan dengan jelas, tidak ditemukan dalam hukum tertulis, tetapi hanya diingatkan oleh warga masyarakat.
f. Pengendalian institusional ialah pengaruh yang datang dari suatu pola kebudayaan yang dimiliki lembaga (institusi) tertentu. Pola-pola kelakuan dan kiadah-kaidah lembaga itu tidak saja mengontrol para anggota lembaga, tetapi juga warga masyarakat yang berada di luar lembaga tersebut.
g. Pengendalian berpribadi ialah pengaruh baik atau buruk yang datang dari orang tertentu. Artinya, tokoh yang berpengaruh itu dapat dikenal. Bahkan silsilah dan riwayat hidupnya, dan teristimewa ajarannya juga dikenal.
C. CARA DAN FUNGSI PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial dapat dilaksanakan melalui :
1. Sosialisasi
Sosialisasi dilakukan agar anggota masyarkat bertingkah laku seperti yang diharapkan tanpa paksaan. Usaha penanaman pengertian tentang nilai dan norma kepada anggota masyarakat diberikan melakui jalur formal dan informal secara rutin.
2. Tekanan Sosial
Tekanan sosial perlu dilakukan agar masyarakat sadar dan mau menyesuaikan diri dengan aturan kelompok. Masyarakat dapat memberi sanksi kepada orang yang melanggar aturan kelompok tersebut.
Pengendalian sosial pada kelompok primer (kelompok masyarkat kecil yang sifatnya akrab dan informal seperti keluarga, kelompok bermain, klik ) biasanya bersifat informal, spontan, dan tidak direncanakan, biasanya berupa ejekan, menertawakan, pergunjingan (gosip) dan pengasingan.
Pengendalian sosial yang diberikan kepada kelompok sekunder (kelompok masyarkat yang lebih besar yang tidak bersifat pribadi (impersonal) dan mempunyai tujuan yang khusus seperti serikat buruh, perkumpulan seniman, dan perkumpulan wartawan ) lebih bersifat formal. Alat pengendalian sosial berupa peraturan resmi dan tata cara yang standar, kenaikan pangkat, pemberian gelar, imbalan dan hadiah dan sanksi serta hukuman formal.
3. Kekuatan dan kekuasaan dalam bentuk peraturan hukum dan hukuman formal
Kekuatan da kekuasaan akan dilakukan jika cara sosialisasi dan tekanan sosial gagal. Keadaan itu terpaksa dipergunakan pada setiap masyarakat untuk mengarahkan tingkah laku dalam menyesuaikan diri dengan nilai dan norma sosial.
Disamping cara di atas juga agar proses pengendalian berlangsung secara efektif dan mencapai tujuan yang diinginkan, perlu dberlakukan cara-cara tertentu sesuai dengan kondisi budaya yang berlaku.
a. Pengendalian tanpa kekerasan (persuasi); bisasanya dilakukan terhadap yang hidup dalam keadaan relatif tenteram. Sebagian besar nilai dan norma telah melembaga dan mendarah daging dalam diri warga masyarakat.
b. Pengendalian dengan kekerasan (koersi) ; biasanya dilakukan bagi masyarakat yang kurang tenteram, misalnya GPK (Gerakan Pengacau Keamanan).
Jenis pengendalian dengan kekerasan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni kompulsi dan pervasi.
1) Kompulsi (compulsion) ialah pemaksaan terhadap seseorang agar taat dan patuh tehadap norma-norma sosial yang berlaku.
2) Pervasi ( pervasion ) ialah penanaman norma-norma yang ada secara berulang -ulang dengan harapan bahwa hal tersebut dapat masuk ke dalam kesadaran seseorang. Dengan demikian, orang tadi akan mengubah sikapnya. Misalnya, bimbingan yang dilakukan terus menerus.
2. Fungsi Pengendalian Sosial
Koentjaraningrat menyebut sekurang-kurangnya lima macam fungsi pengendalian sosial, yaitu :
a. Mempertebal keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma.
b. Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma.
c. Mengembangkan rasa malu
d. Mengembangkan rasa takut
e. Menciptakan sistem hukum
Kontrol sosial – di dalam arti mengendalikan tingkah pekerti-tingkah pekerti warga masyarakat agar selalu tetap konform dengan keharusan-keharusan norma-hampir selalu dijalankan dengan bersarankan kekuatan sanksi (sarana yang lain:pemberian incentive positif). Adapun yang dimaksud dengan sanksi dalam sosiologi ialah sesuatu bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh masyarakat kepada seorang warga masy arakat yang terbukti melanggar atau menyimpangi keharusan norma sosial, dengan tujuan agar warga masyarakat ini kelak tidak lagi melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap norma tersebut.
Ada tiga jenis sanksi yang digunakan di dalam usaha-usaha pelaksanaan kontrol sosial ini, yaitu :
1. Sanksi yang bersifat fisik,
2. Sanksi yang bersifat psikologik, dan
3. Sanksi yang bersifat ekonomik.
Pada praktiknya, ketiga jenis sanksi tersebut di atas itu sering kali terpaksa diterapkan secara bersamaan tanpa bisa dipisah-pisahkan, misalnya kalau seorang hakim menjatuhkan pidana penjara kepada seorang terdakwa; ini berarti bahwa sekaligus terdakwa tersebut dikenai sanksi fisik (karena dirampas kebebasan fisiknya), sanksi psikologik (karena terasakan olehnya adanya perasaan aib dan malu menjadi orang hukuman), dan sanksi ekonomik ( karena dilenyapkan kesempatan meneruskan pekerjaannya guna menghasilkan uang dan kekayaan ).
Sementara itu, untuk mengusahakan terjadinya konformitas, kontrol sosial sesungguhnya juga dilaksanakan dengan menggunakan incentive-incentive positif yaitu dorongan positif yang akan membantu individu-individu untuk segera meninggalkan pekerti-pekertinya yang salah, Sebagaimana halnya dengan sanksi-sanksi, pun incentive itu bisa dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Incentive yang bersifat fisik;
2. Incentive yang bersifat psikologik; dan
3. Incentive yang bersif ekonomik.
Incentive fisik tidaklah begitu banyak ragamnya, serta pula tidak begitu mudah diadakan. Pun, andaikata bisa diberikan, rasa nikmat jasmaniah yang diperoleh daripadanya tidaklah akan sampai seekstrem rasa derita yang dirasakan di dalam sanksi fisik. Jabatan tangan, usapan tangan di kepala, pelukan, ciuman tidaklah akan sebanding dengan ekstremitas penderitaan sanksi fisik seperti hukuman cambuk, hukuman kerja paksa, hukuman gantung dan lain sebagainya. Bernilai sekadar sebagai simbol, kebanyakan incentive fisik lebih tepat dirasakan sebagai incentive psikologik. Sementara itu, disamping incentive fisik dan psikologik tidak kalah pentingnya adalah incentive ekonomik. Incentive ekonomik kebanyakan berwujud hadiah-hadiah barang atau ke arah penghasilan uang yang lebih banyak.
Apakah kontrol sosial itu selalu cukup efektif untuk mendorong atau memaksa warga masyarakat agar selalu conform dengan norma-norma sosial (yang dengan demikian menyebabkan masyarakat selalu berada di dalam keadaan tertib ) ? Ternyata tidak. Usaha-usaha kontrol sosial ternyata tidak berhasil menjamin terselenggaranya ketertiban masyarakat secara mutlak, tanpa ada pelanggaran atau penyimpangan norma-norma sosial satu kalipun.
Ada lima faktor yang ikut menentukan sampai seberapa jauhkah sesungguhnya sesuatu usaha kontrol sosial oleh kelompok masyarakat itu bisa dilaksanakan secara efektif, yaitu :
1. Menarik-tidaknya kelompok masyarakat itu bagi warga-warga yang bersangkutan ;
2. Otonom-tidaknya kelompok masyarakat itu;
3. Beragam-tidaknya norma-norma yang berlaku di dalam kelompok itu,
4. Besar-kecilnya dan bersifat anomie-tidaknya kelompok masyarakat yang bersangkutan; dan
5. Toleran-tidaknya sikap petugas kontrol sosial terhadap pelanggaran yang terjadi.
1. Menarik-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu Bagi Warga yang Bersangkutan.
Pada umumnya, kian menarik sesuatu kelompok bagi warganya, kian besarlah efektivitas kontrol sosial atas warga tersebut, sehingga tingkah pekerti-tingkah pekerti warga itu mudah dikontrol conform dengan keharusan-keharusan norma yang berlaku. Pada kelompok yang disukai oleh warganya, kuatlah kecendrungan pada pihak warga-warga itu untuk berusaha sebaik-baiknya agar tidak melanggar norma kelompok. Norma-norma pun menjadi self-enforcing. Apabila terjadi pelanggaran, dengan mudah si pelanggar itu dikontrol dan dikembalikan taat mengikuti keharusan norma. Sebaliknya, apabila kelompok itu tidak menarik bagi warganya, maka berkuranglah motif pada pihak warga kelompok untuk selalu berusaha menaati norma-norma sehingga karenanya-bagaimanapun juga keras dan tegasnya kontrol sosial dilaksanakan-tetaplah juga banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
2. Otonom-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu.
Makin otonom suatu kelompok, makin efektiflah kontrol sosialnya, dan akan semakin sedikitlah jumlah penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di atas norma-norma kelompok. Dalil tersebut diperoleh dari hasil studi Marsh.
Penyelidikan Marsh ini dapat dipakai sebagai landasan teoritis untuk menjelaskan mengapa kontrol sosial efektif sekali berlaku di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-kecil dan terpencil; dan sebaliknya mengapa di dalam masyarakt kota besar-yang terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial besar maupun kecil itu – kontrol sosial bagaimanapun juga kerasnya dilaksanakan tetap saja kurang efektif menghadapi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
3. Beragam-Tidaknya Norma-norma yang Berlaku di dalam Kelompok Itu
Makin beragam macam norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok-lebih-lebih apabila antara norma-norma itu tidak ada kesesuaian, atau apabila malahan bertentangan-maka semakin berkuranglah efektivitas kontrol sosial yang berfungsi menegakkannya. Dalil ini pernah dibuktikan di dalam sebuah studi eksperimental yang dilakukan oleh Meyers.
Dihadapkan pada sekian banyak norma-norma yang saling berlainan dan saling berlawanan, maka individu-individu warga masyarakat lalu silit menyimpulkan adanya sesuatu gambaran sistem yang tertib, konsisten, dan konsekuen. Pelanggaran atas norma yang satu (demi kepentingan pribadi) sering kali malahan terpuji sebagai konformitas yang konsekuen pada norma yang lainnya. Maka, dalam keadaan demikian itu, jelas bahwa masyarakat tidak akan mungkin mengharapkan dapat terselenggaranya kontrol sosial secara efektif.
4. Besar-Kecilnya dan Bersifat Anomie-Tidaknya Kelompok Masyarakat yang Bersangkutan
Semakin besar suatu kelompok masyarakat, semakin sukarlah orang saling mengidentifikasi dan saling mengenali sesama warga kelompok. Sehingga, dengan bersembunyi di balik keadaan anomie (keadaan tak bisa saling mengenal), samakin bebaslah individu-individu untuk berbuat “semaunya”, dan kontrol sosialpun akan lumpuh tanpa daya.
Hal demikian itu dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masyarakat-masyarakat primitif yang kecil-kecil, di mana segala interaksi sosial lebih bersifat langsung dan face-to-face. Tanpa bisa bersembunyi di balik sesuatu anomie, dan tanpa bisa sedikit pun memanipulasi situasi heterogenitas norma, maka warga masayarakat di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-primitif itu hampir-hampir tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari kontrol sosial. Itulah sebabnya maka kontrol sosial di masyarakat primitif itu selalu terasa amat kuatnya, sampai-sampai suatu kontrol sosial yang informal sifatnya-seperti ejekan dan sindiran-itu pun sudah cukup kuat untuk menekan individu-individu agar tetap memerhatikan apa yang telah terlazim dan diharuskan.
5. Toleran-Tidaknya Sikap Petugas Kontrol Sosial Terhadap Pelanggaran yang Terjadi
Sering kali kontrol sosial tidak dapat terlaksana secara penuh dan konsekuen, bukan kondisi-kondisi objektif yang tidak memungkinkan, melainkan karena sikap toleran (menenggang) agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Mengambil sikap toleran, pelaksana kontrol sosial itu sering membiarkan begitu saja sementara pelanggar norma lepas dari sanksiyang seharusnya dijatuhkan.
Adapun toleransi pelaksana-pelaksana kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi umumnya tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut :
a. Ekstrim-tidaknya pelanggaran norma itu;
b. Keadaan situasi sosial pada ketika pelanggaran norma itu terjadi;
c. Status dan reputasi individu yang ternyata melakukan pelanggaran; dan
d. Asasi-tidaknya nilai moral-yang terkandung di dalam norma-yang terlanggar.
Kontrol atau pengendalian sosial mengacu kepada berbagai alat yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk mengembalikan anggota-anggota yang kepala batu ke dalam relnya. Tidak ada masyarakat yang bisa berjalan tanpa adanya kontrol sosial.
Bentuk kontrol sosial atau cara-cara pemaksaan konformitas relatif beragam. Cara pengendalian masyarakat dapat dijalankan dengan cara persuasif atau dengan cara koersif. Cara persuasif terjadi apabila pengendalian sosial ditekankan pada usaha untuk mengajak atau membimbing, sedangkan cara koersif tekanan diletakkan pada kekeraan atau ancaman dengan mempergunakan atau mengandalkan kekuatan fisik. Menurut Soekanto (1981;42) cara mana yang lebih baik senantiasa tergantung pada situasi yang dihadapi dan tujuan yang hendak dicapai, maupun jangka waktu yang dikehendaki.
Di dalam masyarakat yang makin kompleks dan modern, usaha penegakan kaidah sosial tidak lagi bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan kesadaran warga masyarakat atau pada rasa sungkan warga masyarakat itu sendiri. Usaha penegakan kaidah sosial di dalam masyarakat yang makin modern, tak pelak harus dilakukan dan dibantu oleh kehadiran aparat petugas kontrol sosial.
Di dalam berbagai masyarakat, beberapa aparat petugas kontrol sosial yang lazim dikenal adalah aparat kepolisian, pengadilan, sekolah, lembaga keagamaan, adat, tokoh masyarakat-seperti kiai-pendeta-tokoh yang dituakan, dan sebagainya.
“Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, J.dwi Narwoko-Bagong Suyatno (ed.)
Pengertian Pengendalian Sosial
Pengertian pengendalian sosial menurut para sosiolog,
antara lain sebagai berikut.
a. Menurut Joseph S. Roucek
Pengendalian sosial adalah suatu istilah kolektif yang
mengacu pada proses terencana ataupun tidak terencana
yang mengajarkan, membujuk atau memaksa individu untuk
menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilainilai
kelompok.
b. Menurut Peter L. Berger
Pengendalian sosial adalah berbagai cara yang digunakan
oleh masyarakat untuk menertibkan anggota-anggotanya
membangkang.
c. Menurut Horton
Pengendalian sosial adalah segenap cara dan proses yang
ditempuh oleh sekelompok orang atau masyarakat, sehingga
para anggotanya dapat bertindak sesuai harapan kelompok
atau masyarakat.
d. Menurut Soetandyo Wignyo Subroto
Pengendalian sosial adalah sanksi, yaitu suatu bentuk penderitaan
yang secara sengaja diberikan oleh masyarakat.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
pengendalian sosial adalah proses yang digunakan oleh
seseorang atau kelompok untuk memengaruhi, mengajak,
bahkan memaksa individu atau masyarakat agar berperilaku
sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat,
sehingga tercipta ketertiban di masyarakat.
Sifat-Sifat Pengendalian Sosial
Sifat-sifat pengendalian sosial dapat dibedakan menjadi
tiga sebagai berikut.
a. Preventif
Pengendalian sosial bersifat preventif adalah pengen-dalin
sosial yang dilakukan sebelum terjadi penyimpangan
terhadap nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Dengan kata lain tindakan preventif merupakan tindakan
pencegahan.
Contoh:
1) Seorang ibu melarang anak lelakinya merokok karena
merokok dapat merusak kesehatan.
2) Polisi menegur pemakai jalan raya yang melanggar
rambu-rambu lalu lintas.
b. Kuratif
Pengendalian sosial bersifat kuratif adalah pengendalian
sosial yang dilakukan pada saat terjadi penyimpangan
sosial.
Contoh:
Seorang guru menegur dan menasihati siswanya karena
ketahuan menyontek pada saat ulangan.
c. Represif
Pengendalian sosial bersifat represif adalah pengendalian
sosial yang bertujuan mengembalikan keserasian yang
pernah terganggu karena terjadinya suatu pelanggaran.
Pengendalian ini dilakukan setelah seseorang melakukan
penyimpangan.
Contoh:
Seorang guru memberi tambahan pekerjaan rumah dua
kali lipat saat mengetahui siswanya tidak mengerjakan
pekerjaan rumah yang ditugaskan padanya.
Jenis-Jenis Pengendalian Sosial
Dalam pergaulan sehari-hari kita akan menjumpai
berbagai jenis pengendalian sosial yang digunakan untuk
mencegah atau mengatasi perilaku menyimpang. Jenis
pengendalian tersebut antara lain berikut ini.
a. Gosip atau desas-desus
Gosip atau desas-desus adalah bentuk pengendalian
sosial atau kritik sosial yang dilontarkan secara tertutup
oleh masyarakat.
106 Sosiologi SMA Jilid 1
Gosip sering kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari di masyarakat, yakni apabila ada
individu/kelompok yang tindakannya
menyimpang dari nilai-nilai dan norma-norma
sosial yang berlaku, maka individu tersebut
akan menjadi bahan pembicaraan masyarakat.
Contoh: apabila ada seseorang siswa
SMA diketahui temannya terlibat penyalahgunaan
obat terlarang dan minum-minuman
keras. Siswa tersebut akan menjadi bahan
pembicaraan/gosip teman-teman sekolahnya
yang kemudian berkembang menjadi bahan
pembicaraan guru, orang tua, dan masyarakat sekitar. Kritik
sosial yang dilakukan masyarakat dalam bentuk gosip/
desas-desus tersebut dapat berperan sebagai pengendalian
sosial. Dari adanya gosip tersebut pelaku merasakan
bahwa dia melakukan suatu pelanggaran norma-norma
sosial. Misalnya seorang gadis yang hamil, ia segera
mendesak pacarnya untuk menikahi, atau meminta segera
dinikahkan secara resmi oleh orang tuanya. Demikian pula
bagi pelajar SMA yang terlibat penggunaan obat terlarang,
ia akan segera menghentikan tindakannya.
b. Teguran
Teguran adalah kritik sosial yang dilontarkan secara
terbuka oleh masyarakat terhadap warga masyarakat yang
berperilaku menyimpang. Teguran ini umumnya dilakukan
oleh orang-orang dewasa seperti para orang tua, guru,
tokoh-tokoh masyarakat dan para pemimpin masyarakat.
Dalam pelaksanaannya teguran ada dua macam, yaitu
teguran lisan dan teguran tertulis. Teguran lisan adalah
teguran yang dilontarkan secara lisan kepada individu yang
berperilaku menyimpang. Misalnya teguran orang tua
secara langsung terhadap anaknya yang berperilaku
menyimpang, teguran guru kepada siswa yang melanggar,
teguran lisan pemimpin terhadap bawahannya yang
melanggar, dan sebagainya.
Adapun teguran tertulis adalah bentuk teguran yang
dilakukan secara tidak langsung, tetapi melalui surat. Teguran
tertulis pada umumnya dilakukan oleh pemimpin kepada
bawahannya karena kewenangan dalam suatu organisasi
atau instansi tertentu. Misalnya teguran tertulis melalui
surat dari kepala sekolah terhadap guru yang melanggar,
teguran tertulis dari kepala desa kepada aparatnya yang
melanggar, teguran tertulis dari gubernur kepada bupatiyang melanggar, dan sebagainya. Kritik sosial bentuk
teguran ini dapat berperan pula sebagai pengendalian sosial,
karena mereka yang berperilaku menyimpang itu jika ditegur
atasannya cenderung memperbaiki sikap dan tindakannya.
c. Pendidikan
Pendidikan juga berperan sebagai alat pengendalian
sosial, karena pendidikan dapat membina dan mengarahkan
warga masyarakat (terutama anak sekolah) kepada pembentukan
sikap dan tindakan yang bertanggung jawab terhadap
dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Menurut pendapat para ahli sosiologi maupun ahli
psikologi, bahwa pengaruh pendidikan sangat menentukan
proses pembentukan kepribadian seseorang. Individu yang
berpendidikan baik cenderung berperilaku lebih baik dari
pada individu yang kurang berpendidikan. Berpendidikan
artinya individu mempunyai, mengalami, dan mengikuti
pendidikan yang sempurna dalam kehidupannya sehingga
ia dapat membedakan mana yang benar dan salah, mana
yang baik dan buruk, atau mana yang boleh dan tidak boleh.
Sebaliknya individu yang kurang pendidikan, ia cenderung
mengalami kesulitan penyesuaian dirinya dalam interaksi
sosial di masyarakat.
Berdasarkan asumsi tersebut, maka pendidikan dapat
berfungsi untuk mencegah dan mengatasi perilaku
menyimpang dari warga masyarakat.
d. Agama
Sama halnya dengan pendidikan, agama pun dapat
berperan sebagai alat pengendalian sosial. Agama dapat
memengaruhi sikap dan perilaku para pemeluknya dalam
pergaulan hidup bermasyarakat. Agama pada dasarnya
berisikan perintah, larangan, dan anjuran kepada pemeluk
dalam menjalani hidup sebagai makhluk pribadi, makhluk
Tuhan, dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Norma-norma
agama berfungsi untuk membimbing dan mengarahkan para
pemeluk agama dalam bersikap dan bertindak di
masyarakat.
Apabila individu yang beragama tersebut berperilaku
menyimpang atau bertindak melanggar norma-norma
agama, tentu ia akan dicekam perasaan bersalah atau
berdosa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bagi penganut
agama yang baik tentu ia akan berusaha menghindari
perilaku yang melanggar norma-norma agamanya. Dengan
demikian jelaslah, bahwa agama sangat berperan sebagai
alat pengendalian sosial.
108 Sosiologi SMA Jilid 1
e. Hukuman (Punishment)
Menyimak keempat jenis pengendalian sosial di
depan, yakni gosip, teguran, pendidikan, dan agama
dirasakan kurang tegas dan nyata sanksinya bagi individu
yang berperilaku menyimpang. Dalam kenyataan seharihari
di dalam masyarakat, terdapat pula individu-individu
yang tebal muka. Sudah hilang rasa
malunya atau tidak percaya adanya
siksa Tuhan. Mereka tentu tidak
jera sekalipun digosipkan, ditegur,
ataupun diberikan pendidikan/pengarahan.
Oleh karena itu diperlukan
adanya hukum fisik seperti hukuman
mati, hukuman penjara, hukuman
denda atau pencabutan hak-hak
oleh masya-rakat/pemerintah.
Dengan adanya sanksi hukuman yang keras tersebut,
diharapkan bisa membuat jera bagi para pelanggar, sehingga
tidak berani mengulanginya lagi. Tidak hanya si pelaku,
tetapi juga berpengaruh besar terhadap warga masyarakat
lainnya. Jadi, jelas bahwa hukuman merupakan alat
pengendalian sosial yang paling keras dan tegas dibandingkan
jenis pengendalian sosial. Misalnya individu yang
melakukan pemerkosaan, penyalahgunaan narkotika dan
obat-obatan terlarang, pencurian ataupun pembunuhan.
Mereka tentu tidak akan banyak pengaruhnya bila hanya
digosipkan atau ditegur begitu saja, melainkan harus diberi
hukuman yang seberat-beratnya agar tidak mengulangi lagi
perbuatan tersebut.
6. Cara-Cara Pengendalian Sosial
Ada beberapa macam cara pengendalian sosial agar
individu dan masyarakat berperilaku sesuai dengan apa yang
diharapkan. Cara pengendalian tersebut antara lain sebagai
berikut.
a. Cara persuasif
Cara persuasif dalam pengendalian sosial dilakukan
dengan menekankan pada usaha mengajak dan
membimbing anggota masyarakat agar bertindak sesuai
dengan cara persuasif. Pengendalian sosial dengan cara
persuasif biasanya diterapkan pada masyarakat yang relatif
tenteram, norma dan nilai sosial sudah melembaga atau
menyatu dalam diri para warga masyarakatnya. Selain itu
cara persuasif juga menekankan pada segi nilai
pengetahuan (kognitif) dan nilai sikap (afektif).
Sumber: Ensiklopedi Umum
untuk Pelajar, 2005
�� Gambar 5.6 Hukuman
penjara merupakan sanksi
keras agar para pelanggar
kejahatan jera dan tidak
berani mengulanginya.
Penyimpangan dan Pengendalian Sosial 109
Contoh cara persuasif:
Seorang guru membimbing dan membina siswanya yang
kedapatan menyontek pada saat ulangan. Guru memberikan
pengertian bahwa menyontek itu menunjukkan sikap tidak
percaya diri dan kelak di kemudian hari menjadikan ia
seorang yang bodoh dan tidak jujur.
b. Cara koersif
Cara koersif dalam pengendalian sosial dilakukan
dengan kekerasan atau paksaan. Biasanya cara koersif
dilakukan dengan menggunakan kekuatan fisik. Cara
koersif dilakukan sebagai upaya terakhir apabila cara
pengendalian persuasif tidak berhasil. Selain itu cara koersif
akan membawa dampak negatif secara langsung maupun
tidak langsung, karena menyelesaikan masalah dengan
kekerasan akan menimbulkan banyak kekerasan pula.
Pengendalian sosial dengan cara koersif dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut.
1) Kompulsif (compulsion) yaitu kondisi/situasi yang
sengaja diciptakan sehingga seseorang terpaksa taat
atau patuh pada norma-norma.
Misalnya: untuk membuat jera para pencopet, apabila
tertangkap basah langsung dikeroyok dan dihakimi
massa.
2) Pervasi (pengisian) yaitu penanaman norma secara
berulang-ulang dengan harapan bahwa norma tersebut
masuk ke dalam kesadaran seseorang, sehingga
orang tersebut akan mengubah sikapnya sesuai yang
diinginkan.
Misalnya: bimbingan orang tua terhadap anak-anaknya
secara terus-menerus.
Sumber bse, sosiologi.
Kamis, Oktober 21, 2010
Peran Keluarga dalam Penanaman Nilai dan norma
Keluarga merupakan media yang paling urgen . penting, utama dala proses sosialisasi. Keluarga merupakan tempat pertama kali ( secara umum ) manusia mengenal lingkungan sosialnya. Ketia sang anak dilahirkan , tumbuh berkembang lahir dan rohaninya , maka keluargalah yang pertama kali dikenalnya. Keluarga inti yang terdiri dari orang tua dan anak ,melakukan kontak primer, mereka saling berinteraksi, saling memberikan aksi dan respon sosialnya.
Dari keluarga itulah sang anak akan menerima system nilai, aturan, kaidah, kebiasaan, norma dan kebudayaan dimana mereka tinggal. Anak akan mengamati, anak akan meniru, anak akan memperhatikan apa yang dikatakan, dilakukan dan diperbuat oleh orang tuanya. Apabila orang tua secara arif dan bijaksana menagajarkan system nilai dengan baik dan benar maka pada diri anak akan menerima , menyerap dan sekaligus akan ditampilkan dalam perilakunya sehari hari dilingkungan social dimana ia berada. Keluarga dituntut dapat melaksanakan peran sosialnya ini , jangan sampai keluarga hanya melaksanakan peran ekonomi saja, yang hanya bertumpu pada pemenuhan kebutuhan ekonomi saja. Namun juga dituntut buntuk dapat mentrasnfer nilai nilai, norma kaidah yang berlaku dimasyarakatnya.
Apabila keluarga tidak berhasil, gagal dalam melaksanakan peran sosialnya ini maka akan pada diri anak tersebut akan berperilaku bertentangan dengan system norma yang ada disekitarnya. Orang tua yang tidak pernah memberikan pengertian tentang apa itu baik dan apa itu buruk, apa itu yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan, sehingga pada diri anak tidak dapat membedakan mana perilaku yang diperbolehkan oleh masyarakat dan mana perilaku yang tidak diperbolehkan oleh masyarakat. Dengan demikian sering kita melihat banyak anak yang melakukan tindakan perilaku menyimpang dari system norma di masyarakatnya.
Dengan demikian keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan pribadi, watak perilaku bagi anggotanya.
Sumber : pemikiran sendiri.
Dari keluarga itulah sang anak akan menerima system nilai, aturan, kaidah, kebiasaan, norma dan kebudayaan dimana mereka tinggal. Anak akan mengamati, anak akan meniru, anak akan memperhatikan apa yang dikatakan, dilakukan dan diperbuat oleh orang tuanya. Apabila orang tua secara arif dan bijaksana menagajarkan system nilai dengan baik dan benar maka pada diri anak akan menerima , menyerap dan sekaligus akan ditampilkan dalam perilakunya sehari hari dilingkungan social dimana ia berada. Keluarga dituntut dapat melaksanakan peran sosialnya ini , jangan sampai keluarga hanya melaksanakan peran ekonomi saja, yang hanya bertumpu pada pemenuhan kebutuhan ekonomi saja. Namun juga dituntut buntuk dapat mentrasnfer nilai nilai, norma kaidah yang berlaku dimasyarakatnya.
Apabila keluarga tidak berhasil, gagal dalam melaksanakan peran sosialnya ini maka akan pada diri anak tersebut akan berperilaku bertentangan dengan system norma yang ada disekitarnya. Orang tua yang tidak pernah memberikan pengertian tentang apa itu baik dan apa itu buruk, apa itu yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan, sehingga pada diri anak tidak dapat membedakan mana perilaku yang diperbolehkan oleh masyarakat dan mana perilaku yang tidak diperbolehkan oleh masyarakat. Dengan demikian sering kita melihat banyak anak yang melakukan tindakan perilaku menyimpang dari system norma di masyarakatnya.
Dengan demikian keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan pribadi, watak perilaku bagi anggotanya.
Sumber : pemikiran sendiri.
Jumat, Oktober 08, 2010
Teori Pertukaran Sosial
Teori pertukaran sosial adalah teori dalam ilmu sosial yang menyatakan bahwa dalam hubungan sosial terdapat unsur ganjaran, pengorbanan, dan keuntungan yang saling mempengaruhi.[rujukan?] Teori ini menjelaskan bagaimana manusia memandang tentang hubungan kita dengan orang lain sesuai dengan anggapan diri manusia tersebut terhadap:
• Keseimbangan antara apa yang di berikan ke dalam hubungan dan apa yang dikeluarkan dari hubungan itu.
• Jenis hubungan yang dilakukan.
• Kesempatan memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain.[rujukan?]
[sunting] Munculnya teori pertukaran sosial
Pada umumnya,hubungan sosial terdiri daripada masyarakat, maka kita dan masyarakat lain di lihat mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi dalam hubungan tersebut,yang terdapat unsur ganjaran , pengorbanan dan keuntungan . Ganjaran merupakan segala hal yang diperolehi melalui adanya pengorbanan,manakala pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah ganjaran dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antara dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan,dan persahabatan.
Analogi dari hal tersebut, pada suatu ketika anda merasa bahwa setiap teman anda yang di satu kelas selalu berusaha memperoleh sesuatu dari anda. Pada saat tersebut anda selalu memberikan apa yang teman anda butuhkan dari anda, akan tetapi hal sebaliknya justru terjadi ketika anda membutuhkan sesuatu dari teman anda. Setiap individu menjalin pertemanan tentunya mempunyai tujuan untuk saling memperhatikan satu sama lain. Individu tersebut pasti diharapkan untuk berbuat sesuatu bagi sesamanya, saling membantu jikalau dibutuhkan, dan saling memberikan dukungan dikala sedih. Akan tetapi mempertahankan hubungan persahabatan itu juga membutuhkan biaya (cost) tertentu, seperti hilang waktu dan energi serta kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak jadi dilaksanakan. Meskipun biaya-biaya ini tidak dilihat sebagai sesuatu hal yang mahal atau membebani ketika dipandang dari sudut penghargaan (reward) yang didapatkan dari persahabatan tersebut. namun, biaya tersebut harus dipertimbangkan apabila kita menganalisa secara obyektif hubungan-hubungan transaksi yang ada dalam persahabatan. Apabila biaya yang dikeluarkan terlihat tidak sesuai dengan imbalannya, yang terjadi justru perasaan tidak enak di pihak yang merasa bahwa imbalan yang diterima itu terlalu rendah dibandingkan dengan biaya atau pengorbanan yang sudah diberikan.
Analisa mengenai hubungan sosial yang terjadi menurut cost and reward ini merupakan salah satu ciri khas teori pertukaran. Teori pertukaran ini memusatkan perhatiannya pada tingkat analisa mikro, khususnya pada tingkat kenyataan sosial antarpribadi (interpersonal). Pada pembahasan ini akan ditekankan pada pemikiran teori pertukaran oleh Homans dan Blau. Homans dalam analisanya berpegang pada keharusan menggunakan prinsip-prinsip psikologi individu untuk menjelaskan perilaku sosial daripada hanya sekedar menggambarkannya. Akan tetapi Blau di lain pihak berusaha beranjak dari tingkat pertukaran antarpribadi di tingkat mikro, ke tingkat yang lebih makro yaitu struktur sosial. Ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana struktur sosial yang lebih besar itu muncul dari proses-proses pertukaran dasar.
Berbeda dengan analisa yang diungkapkan oleh teori interaksi simbolik, teori pertukaran ini terutama melihat perilaku nyata, bukan proses-proses yang bersifat subyektif semata. Hal ini juga dianut oleh Homans dan Blau yang tidak memusatkan perhatiannya pada tingkat kesadaran subyektif atau hubungan-hubungan timbal balik yang bersifat dinamis antara tingkat subyektif dan interaksi nyata seperti yang diterjadi pada interaksionisme simbolik. Homans lebih jauh berpendapat bahwa penjelasan ilmiah harus dipusatkan pada perilaku nyata yang dapat diamati dan diukur secara empirik.[1] Proses pertukaran sosial ini juga telah diungkapkan oleh para ahli sosial klasik. Seperti yang diungkapkan dalam teori ekonomi klasik abad ke-18 dan 19, para ahli ekonomi seperti Adam Smith sudah menganalisa pasar ekonomi sebagai hasil dari kumpulan yang menyeluruh dari sejumlah transaksi ekonomi individual yang tidak dapat dilihat besarnya. Ia mengasumsikan bahwa transaksi-transaksi pertukuran akan terjadi hanya apabila kedua pihak dapat memperoleh keuntungan dari pertukaran tersebut, dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dapat dengan baik sekali dijamin apabila individu-individu dibiarkan untuk mengejar kepentingan pribadinya melalui pertukaran-pertukaran yang dinegosiasikan secara pribadi.
[sunting] Pertentangan teori pertukaran sosial individualistis dan kolektivistis
Pertentangan yang terjadi ini merupakan akibat dari tumbuhnya pertentangan antara orientasi individualistis dan kolektisvistis. Homans mungkin merupakan seseorang yang sangat menekankan pada pendekatan individualistis terhadap perkembangan teori sosial. Hal ini tentunya berbeda dengan penjelasan Levi-Strauss yang bersifat kolektivistis khususnya mengenai perkawinan dan pola-pola kekerabatan.
Levi-Strauss merupakan seorang ahli antropologi yang berasal dari Prancis, ia mengembangkan suatu perspektif teoritis mengenai pertukaran sosial dalam analisannya mengenai praktek perkawinan dan sistem kekerabatan masyarakat-masyarakat primitif.[2] Suatu pola umum yang dianalisanya adalah seorang pria mengawini putri saudara ibunya. Suatu pola yang jarang terjadi adalah orang mengawini putri saudara bapaknya.[3] Pola yang terakhir ini dianalisa lebih lanjut oleh lanjut oleh Bronislaw Malinowski dengan pertukaran nonmaterial.[4]
Dalam menjelaskan hal ini Levi-Strauss membedakan dua sistem pertukaran yaitu restricted exchange dan generalized exchange. Pada restricted exchange, para anggota kelompok dyad terlibat dalam transaksi pertukaran langsung, masing-masing anggota pasangan tersebut saling memberikan dengan dasar pribadi. Sedangkan pada generalized exchange, anggota-anggota suatu kelompok triad atau yang lebih besar lagi, menerima sesuatu dari seorang pasangan lain dari orang yang dia berikan sesuatu yang berguna.[5] Dalam pertukaran ini memberikan dampak pada integrasi dan solidaritas kelompok-kelompok yang lebih besar dengan cara yang lebih efektif. Tujuan utama proses pertukaran ini adalah tidak untuk memungkinkan pasangan-pasangan yang terlibat dalam pertukaran itu untuk memenuhi kebutuhan individualistisnya. Akan tetapi untuk mengungkapkan komitmen moral individu tersebut kepada kelompok. Analisa mengenai perkawinan dan perilaku kekerabatan ini merupakan sebuah kritikan terhadap penjelasan Sir James Frazer seorang ahli Antropologi Inggris yang bersifat ekonomis mengenai pola-pola pertukaran yang terjadi antara pasangan perkawinan dalam masyrakat primitif.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_pertukaran_sosial
• Keseimbangan antara apa yang di berikan ke dalam hubungan dan apa yang dikeluarkan dari hubungan itu.
• Jenis hubungan yang dilakukan.
• Kesempatan memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain.[rujukan?]
[sunting] Munculnya teori pertukaran sosial
Pada umumnya,hubungan sosial terdiri daripada masyarakat, maka kita dan masyarakat lain di lihat mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi dalam hubungan tersebut,yang terdapat unsur ganjaran , pengorbanan dan keuntungan . Ganjaran merupakan segala hal yang diperolehi melalui adanya pengorbanan,manakala pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah ganjaran dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antara dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan,dan persahabatan.
Analogi dari hal tersebut, pada suatu ketika anda merasa bahwa setiap teman anda yang di satu kelas selalu berusaha memperoleh sesuatu dari anda. Pada saat tersebut anda selalu memberikan apa yang teman anda butuhkan dari anda, akan tetapi hal sebaliknya justru terjadi ketika anda membutuhkan sesuatu dari teman anda. Setiap individu menjalin pertemanan tentunya mempunyai tujuan untuk saling memperhatikan satu sama lain. Individu tersebut pasti diharapkan untuk berbuat sesuatu bagi sesamanya, saling membantu jikalau dibutuhkan, dan saling memberikan dukungan dikala sedih. Akan tetapi mempertahankan hubungan persahabatan itu juga membutuhkan biaya (cost) tertentu, seperti hilang waktu dan energi serta kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak jadi dilaksanakan. Meskipun biaya-biaya ini tidak dilihat sebagai sesuatu hal yang mahal atau membebani ketika dipandang dari sudut penghargaan (reward) yang didapatkan dari persahabatan tersebut. namun, biaya tersebut harus dipertimbangkan apabila kita menganalisa secara obyektif hubungan-hubungan transaksi yang ada dalam persahabatan. Apabila biaya yang dikeluarkan terlihat tidak sesuai dengan imbalannya, yang terjadi justru perasaan tidak enak di pihak yang merasa bahwa imbalan yang diterima itu terlalu rendah dibandingkan dengan biaya atau pengorbanan yang sudah diberikan.
Analisa mengenai hubungan sosial yang terjadi menurut cost and reward ini merupakan salah satu ciri khas teori pertukaran. Teori pertukaran ini memusatkan perhatiannya pada tingkat analisa mikro, khususnya pada tingkat kenyataan sosial antarpribadi (interpersonal). Pada pembahasan ini akan ditekankan pada pemikiran teori pertukaran oleh Homans dan Blau. Homans dalam analisanya berpegang pada keharusan menggunakan prinsip-prinsip psikologi individu untuk menjelaskan perilaku sosial daripada hanya sekedar menggambarkannya. Akan tetapi Blau di lain pihak berusaha beranjak dari tingkat pertukaran antarpribadi di tingkat mikro, ke tingkat yang lebih makro yaitu struktur sosial. Ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana struktur sosial yang lebih besar itu muncul dari proses-proses pertukaran dasar.
Berbeda dengan analisa yang diungkapkan oleh teori interaksi simbolik, teori pertukaran ini terutama melihat perilaku nyata, bukan proses-proses yang bersifat subyektif semata. Hal ini juga dianut oleh Homans dan Blau yang tidak memusatkan perhatiannya pada tingkat kesadaran subyektif atau hubungan-hubungan timbal balik yang bersifat dinamis antara tingkat subyektif dan interaksi nyata seperti yang diterjadi pada interaksionisme simbolik. Homans lebih jauh berpendapat bahwa penjelasan ilmiah harus dipusatkan pada perilaku nyata yang dapat diamati dan diukur secara empirik.[1] Proses pertukaran sosial ini juga telah diungkapkan oleh para ahli sosial klasik. Seperti yang diungkapkan dalam teori ekonomi klasik abad ke-18 dan 19, para ahli ekonomi seperti Adam Smith sudah menganalisa pasar ekonomi sebagai hasil dari kumpulan yang menyeluruh dari sejumlah transaksi ekonomi individual yang tidak dapat dilihat besarnya. Ia mengasumsikan bahwa transaksi-transaksi pertukuran akan terjadi hanya apabila kedua pihak dapat memperoleh keuntungan dari pertukaran tersebut, dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dapat dengan baik sekali dijamin apabila individu-individu dibiarkan untuk mengejar kepentingan pribadinya melalui pertukaran-pertukaran yang dinegosiasikan secara pribadi.
[sunting] Pertentangan teori pertukaran sosial individualistis dan kolektivistis
Pertentangan yang terjadi ini merupakan akibat dari tumbuhnya pertentangan antara orientasi individualistis dan kolektisvistis. Homans mungkin merupakan seseorang yang sangat menekankan pada pendekatan individualistis terhadap perkembangan teori sosial. Hal ini tentunya berbeda dengan penjelasan Levi-Strauss yang bersifat kolektivistis khususnya mengenai perkawinan dan pola-pola kekerabatan.
Levi-Strauss merupakan seorang ahli antropologi yang berasal dari Prancis, ia mengembangkan suatu perspektif teoritis mengenai pertukaran sosial dalam analisannya mengenai praktek perkawinan dan sistem kekerabatan masyarakat-masyarakat primitif.[2] Suatu pola umum yang dianalisanya adalah seorang pria mengawini putri saudara ibunya. Suatu pola yang jarang terjadi adalah orang mengawini putri saudara bapaknya.[3] Pola yang terakhir ini dianalisa lebih lanjut oleh lanjut oleh Bronislaw Malinowski dengan pertukaran nonmaterial.[4]
Dalam menjelaskan hal ini Levi-Strauss membedakan dua sistem pertukaran yaitu restricted exchange dan generalized exchange. Pada restricted exchange, para anggota kelompok dyad terlibat dalam transaksi pertukaran langsung, masing-masing anggota pasangan tersebut saling memberikan dengan dasar pribadi. Sedangkan pada generalized exchange, anggota-anggota suatu kelompok triad atau yang lebih besar lagi, menerima sesuatu dari seorang pasangan lain dari orang yang dia berikan sesuatu yang berguna.[5] Dalam pertukaran ini memberikan dampak pada integrasi dan solidaritas kelompok-kelompok yang lebih besar dengan cara yang lebih efektif. Tujuan utama proses pertukaran ini adalah tidak untuk memungkinkan pasangan-pasangan yang terlibat dalam pertukaran itu untuk memenuhi kebutuhan individualistisnya. Akan tetapi untuk mengungkapkan komitmen moral individu tersebut kepada kelompok. Analisa mengenai perkawinan dan perilaku kekerabatan ini merupakan sebuah kritikan terhadap penjelasan Sir James Frazer seorang ahli Antropologi Inggris yang bersifat ekonomis mengenai pola-pola pertukaran yang terjadi antara pasangan perkawinan dalam masyrakat primitif.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_pertukaran_sosial
Jumat, September 24, 2010
DAMPAK URBANISASI (PERSPEKTIF SOSIAL BUDAYA)
Terjadi perubahan gaya hidup masyarakat desa, dari gaya hidup tradisional mengarah ke gaya hidup modern
Terjadi transisi struktur relasi sosial dari masyarakat tradisional agraris ke masyarakat modern industrial
Tipologi struktur relasi sosial Masyarakat Tradisional dan Modern
Masyarakat Tradisional Masyarakat Modern
Affective Affective neutrality
Collective orientation Self orientation
Particularism Universalism
Ascription Achievement
Diffuseness Specificity
Terjadi transisi struktur relasi sosial dari masyarakat tradisional agraris ke masyarakat modern industrial
Tipologi struktur relasi sosial Masyarakat Tradisional dan Modern
Masyarakat Tradisional Masyarakat Modern
Affective Affective neutrality
Collective orientation Self orientation
Particularism Universalism
Ascription Achievement
Diffuseness Specificity
DAMPAK URBANISASI
(MIGRASI DESA – KOTA)
Bagi Daerah Perdesaan
Daerah pedesaan kehilangan tenaga kerja potensiil, terdidik, terampil dan produktif.
Makin terbatasnya jumlah buruh tani
Tingkat upah di pedesaan meningkat (misalnya : upah buruh tani)
Perkembangan desa berjalan lambat
Tingkat pengangguran di daerah perdesaan berkurang
Tingkat kepadatan penduduk berkurang
Dll.
DAMPAK URBANISASI
(MIGRASI DESA – KOTA)
Bagi Daerah Perkotaan
Kepadatan penduduk di daerah perkotaan meningkat
Terjadi perkampungan kumuh (slum)
Meningkatnya Gepeng (gelandangan dan pengemis)
Meningkatnya angka pengangguran di daerah perkotaan
Meningkatnya kriminalitas / kejahatan
Lingkungan kota semakin semrawut (tidak tertib), misalnya perkembangan PKL yang tidak terkendali
Meningkatnya kesenjangan sosial antara golongan miskin dan kaya.
Sistem stratifikasi sosial di daerah perkotaan semakin kompleks
Proses perubahan sosial semakin cepat
Kota memperoleh tenaga kerja terdidik, trampil dan murah
sumber : hasil workshop di Malang.
Bagi Daerah Perdesaan
Daerah pedesaan kehilangan tenaga kerja potensiil, terdidik, terampil dan produktif.
Makin terbatasnya jumlah buruh tani
Tingkat upah di pedesaan meningkat (misalnya : upah buruh tani)
Perkembangan desa berjalan lambat
Tingkat pengangguran di daerah perdesaan berkurang
Tingkat kepadatan penduduk berkurang
Dll.
DAMPAK URBANISASI
(MIGRASI DESA – KOTA)
Bagi Daerah Perkotaan
Kepadatan penduduk di daerah perkotaan meningkat
Terjadi perkampungan kumuh (slum)
Meningkatnya Gepeng (gelandangan dan pengemis)
Meningkatnya angka pengangguran di daerah perkotaan
Meningkatnya kriminalitas / kejahatan
Lingkungan kota semakin semrawut (tidak tertib), misalnya perkembangan PKL yang tidak terkendali
Meningkatnya kesenjangan sosial antara golongan miskin dan kaya.
Sistem stratifikasi sosial di daerah perkotaan semakin kompleks
Proses perubahan sosial semakin cepat
Kota memperoleh tenaga kerja terdidik, trampil dan murah
sumber : hasil workshop di Malang.
URBANISASI
Definisi :
Dari perspektif fisik-geografis :
a) Proses perpindahan penduduk dari daerah perdesaan
(rural) ke daerah perkotaan (urban) secara permanen
(menetap) atau relatif permanen (jangka waktu cukup
lama) ----- terkait dengan proses migrasi desa ke kota
b) Proses perubahan daerah pedesaan menjadi daerah
perkotaan (sub-urban)
Dari perspektif sosial budaya :
Proses perubahan gaya hidup (life style) masyarakat desa
meniru masyarakat kota
Dari perspektif fisik-geografis :
a) Proses perpindahan penduduk dari daerah perdesaan
(rural) ke daerah perkotaan (urban) secara permanen
(menetap) atau relatif permanen (jangka waktu cukup
lama) ----- terkait dengan proses migrasi desa ke kota
b) Proses perubahan daerah pedesaan menjadi daerah
perkotaan (sub-urban)
Dari perspektif sosial budaya :
Proses perubahan gaya hidup (life style) masyarakat desa
meniru masyarakat kota
Selasa, Agustus 17, 2010
SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU
SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU DAN METODE
Drs. Kt. Diara Astawa, SH, M.Si
FIS Universitas Negeri Malang
• DEFINISI SOSIOLOGI
1. Sosiologi mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan (hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formil maupun materiil, statis maupun dinamis (Mayor Polak)
2. Sosiologi mempelajari (1) hubungan dan pengaruh timbal balik aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik dan sebagainya); (2) hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial (misalnya gejala geografis, biologis dan sebagainya); (3) ciri-ciri umum dari semua jenis gejala sosial (Pitirim A. Sorokin)
3. Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan kelompok-kelompok (Roucek and Warren).
4. Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial (William F. Ogburn and Meyer F. Nimkoff).
5. Sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial, lapisan-lapisan sosial. Sedangkan proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal balik antara kehidupan ekonomi dengan kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum dengan kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dengan kehidupan ekonomi, dan sebagainya.
6. SIFAT HAKIKAT SOSIOLOGI
a. Sosiologi adalah ilmu sosial, yang mengkaji hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok dan manusia dengan lingkungannya.
b. Sosiologi bukan disiplin yang normatif, tetapi disiplin yang kategoris, artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini dan bukan apa yang seharusnya terjadi.
c. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan murni dan bukan ilmu pengetahuan terapan. Tujuan sosiologi untuk memdapatkan pengetahuan yang sedalam-dalamnya tentang masyarakat dan bukan untuk menggunakan pengetahuan tsb terhadap masyarakat.
d. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak, artinya yang diperhatikan adalah bentuk dan pola peristiwa dalam masyarakat.
e. Sosiologi bertujuan menghasilkan pengertian-pengertian dan pola umum. Sosiologi meneliti dan mencari apa yang menjadi prinsip, hukum umum interaksi manusia, hakikat, bentuk, isi dan struktur masyarakat.
f. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang umum, artinya mempelajari gejala yang umum pada setiap interaksi antar manusia.
g. Jadi sosiologi adalah ilmu sosial yang kategoris, murni, abstrak, berusaha mencari pengertian umum, rasional, empiris dan bersifat umum.
• TINJAUAN KASUS
• Kasus Hubungan Poilitik dengan sosial budaya
Dewan Adat Papua Tolak Transmigran (Kompas, 27 April 2010). Pembukaan lahan dan pengiriman transmigran ke Papua dinilai sebagai bentuk margjinalisasi orang asli Papua. Karena itu, menolak kebijakan pemerintah, mengatakan: “kami secara resmi dan tegas tidak setuju dan menolak transmigrasi ke Papua. Kami orang asli Papua tidak mau jadi minoritas di tanah air sendiri”, kata Forkorus, Ketua Dewan Adat Papua. Forkorus meminta pemerintah provinsi dan kabupaten secara tegas menolak rencana pengiriman transmigrasi ke tanah Papua. Pemerintah sebaiknya mengurus masalah warga di tanah Papua yang sudah ada, jangan sampai nanti banyak orang pendatang ke Papua lalu tidak dapat kerja, jadi bikin kriminal. Menurut Forkorus, pembukaan lahan di Papua untuk pertanian transmigran mengingkari program pemerintah untuk melestarikan hutan Papua. Dua pertiga tanah Papua merupakan wilayah pegunungan. Kalau gunung-gunung dibuka akan terjadi banjir, tanah longsor, ini sama dengan menggali kuburan sendiri. Mahasiswa papua juga mengatakan menolak dengan tegas setiap program transmigrasi di tanah Papua. Program itu tidak membawa kesejahteraan bagi orang Papua.
Transmigrasi yang dimulai di Papua sejak 40 tahun lalu, katanya, malah menciptakan kesenjangan sosial ekonomi antara pendatang dengan orang asli Papua. Transmigrasi itu untuk kepentingan siapa? Setiap program pemerintah harusnya semangatnya pada UU Otonomi khusus yang berpihak kepada orang asli Papua, kata Siriwa (mhs)
• Dialog Atasi Perbedaan (Kompas 27 April 2010)
Pandangan dan sikap umat terhadap agama terus bergeser seiring perkembangan zaman. Perubahan pandangan itu membuat sikap umat terhadap umat beragama lainnya juga beragam dan terus berubah. Dialog antar umat agama merupakan media yang efektif untuk mengurangi ketegangan akibat perbedaan yang terjadi. Perubahan paradigma keagamaan tidak hanya disebabkan karena perkembangan jaman semata, tetapi juga ada keterlibatan pengaruh politik di dalamnya. Semula agama berkembang dalam kelompok kecil. Berabad-abad kemudian, agama terus berubah dengan munculnya kerajaan-kerajaan teokrasi hingga mengalami modernisasi seperti sekarang. Setiap pase perubahan paradigma umumnya memiliki ciri-ciri khusus baik dalam sisi pelaku, waktu maupun tempatnya.
“Manusia berubah , pandangannya terhadap agama juga berubah yang disesuaikan dengan kondisi dan nilai yang ada (kata Hans Kung). Dalam perubahan paradigma itulah dibutuhkan komitmen terhadap nilai-nilai dasar agama sebagai etika global. Magnis suseno mengatakan, dialog antar umat beragama memang sulit dilakukan karena kompleksnya persoalan yang ada. Namun, harus terus dilakukan untuk mengurangi ketegangan dan menumbuhkan saling percaya diantara umat beragama dalam memahami perubahan paradigma. Jika perubahan paradigma tidak difahami, yang muncul adalah absolutisme. Said Aqiel Siradj mengatakan, hal yang paling merusak agama adalah politik. Munculnya negara dengan identitas agama justru menyalahi konsep agama yang mengutamakan nilai-nilai perdamaian, keadilan dan kemanusiaan. Konflik agama yg muncul bukan disebabkan oleh ajaran agamanya, melainkan oleh kepentingan politik umat beragama. Di Negara-negara berkembang agama sering kali dijadikan alat melegitimasi segala sesuatu.
• OBYEK SOSIOLOGI
• Obyek Sosiologi adalah masyarakat, yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat.
• Masyarakat meliputi: (a) struktur sosial mencakup keseluruhan jalinan unsur-unsur sosial (norma sosial, lembaga sosial, kelompok sosial dan lapisan sosial); (b) proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama (kehidupan hukum dengan agama, kehidupan agama dengan ekonomi, dsb); (c) perubahan sosial (perubahan struktur dan kultural).
• OBYEK SOSIOLOGI
Gunawan memerinci obyek sosiologi, Mencakup:
1. Struktur sosial, adalah jalinan dari seluruh unsur-unsur sosial;
2. Unsur-unsur sosial yang pokok adalah norma sosial, lembaga sosial, kelompok sosial dan lapisan sosial;
3. Proses sosial, adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama;
4. Perubahan sosial, adalah segala perubahan yang terjadi pada lembaga sosial dalam masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial, seperti nilai, sikap, dan sebagainya.
• PENGERTIAN STRUKTUR SOSIAL
• Istilah struktur dapat diterjemahkan dengan susunan, bagan, bangunan, skema atau gambar konkrit tentang sesuatu.
• Struktur sosial adalah susunan atau bangunan masyarakat yang menggambarkan suatu lembaga sosial atau pranata sosial yang berlapis-lapis
• Soekanto (1983): Struktur sosial adalah hubungan timbal balik antara posisi-posisi sosial dan antara peranan-peranan
• Struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya mengandung hubungan-hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu keteraturan perilaku, sehingga memberikan bentuk suatu masyarakat.
• STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA
Ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik, yaitu:
a. secara horizontal, ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku-bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan.
b. Secara vertikal, struktur masyarakat indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Pengaruh dari kondisi masyarakat Indonesia yang memiliki kemajemukan suku bangsa, kehidupan keagamaan, ras dan antar golongan, sebagai akibat perubahan sosial dan krisis multi dimensional yang berkepanjangan, memicu keresahan sosial dan kerusuhan massa di berbagai daerah sangat berpengaruh terhadap keseimbangan, dan stabilitas masyarakat Indonesia sebagai sistem sosial.
• Status dan Peranan Sosial
Status
adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang-orang lain dalam kelompok tersebut atau tempat suatu berhubungan dengan kelompok-kelompok lainnya di dalam kelompok yang lebih besar lagi.
Status Sosial
– Mayor Polak (1979): kedudukan sosial seorang oknum dalam kelompok serta dalam masyarakat
– Soerjono Soekanto (2002): tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya.
– Perbedaan status sosial
Dalam masyarakat senantiasa ada perbedaan status antara orang yang satu dengan yang lainnya, antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Ada yang mempunyai status sosial tinggi ada yang mempunyai status sosial rendah, sehingga nampak berlapis-lapis dari atas ke bawah.
• SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU
ILMU PENGETAHUAN
• Pengetahuan adalah suatu kesan dalam pikiran manusia sebagai hasil dari pengamatan dan pengalaman masa lampau yang mengandung kebenaran.
• Ilmu adalah akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan atau ilmu adalah kesatuan pengetahuan yang terorganisasikan
• Ilmu pengetahuan sebagai pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang dapat diamati oleh panca indera manusia.
• Pengetahuan dapat disebut Ilmu pengetahuan, apabila pengetahuan itu telah disusun secara sistematis, yaitu tersusun secara berurutan dan merupakan suatu kebulatan
• Jadi Ilmu Pengetahuan adalah pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran yang selalu dapat diperiksa dan ditelaah dengan kritis oleh setiap orang.
TIMBULNYA ILMU PENGETAHUAN
1. Pada hakikatnya ilmu pengetahuan timbul karena adanya hasrat ingin tahu manusia terhadap aspek-aspek kehidupan;
2. Setelah manusia memperoleh pengetahuan tentang sesuatu, kemudian diteruskan dengan penemuan secara kebetulan, melakukan percobaan, dan penelitian ilmiah;
3. Penelitian ilmiah dilakukan manusia untuk menyalurkan hasrat ingin tahu yang telah mencapai tarap keilmuan, disertai keyakinan bahwa setiap gejala dapat ditelaah dan dicari sebab-akibatnya;
4. Suatu penelitian dimulai apabila seseorang berusaha memecahkan masalah secara sistematis dengan metode-metode tertentu, yaitu metode-metode ilmiah untuk menemukan kebenaran. Jadi penelitian merupakan bagian pokok dari ilmu pengetahuan bertujuan lebih mengetahui dan mendalami segala segi kehidupan untuk memperkuat ilmu pengetahuan.
• KELOMPOK ILMU PENGETAHUAN
BERDASARKAN OBYEKNYA ADA EMPAT KELOMPOK ILMU PENGETAHUAN (SOEKANTO, 2002):
1. Ilmu Matematika
2. Ilmu Pengetahuan Alam, yaitu kelompok ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala alambaik yang hayati (life sciences) maupun yang tidak hayati (fisika).
3. Ilmu tentang perilaku (behavioral sciencs) yang disatu pihak menyoroti perilaku hewan (animal behavior) dan dilain pihak menyoroti perilaku manusia (human behavior). Yang terakhir ini sering kali dinamakan ilmu-ilmu sosial yang mencakup pelbagai ilmu pengetahuan yang masing-masing menyoroti suatu bidang dalam kehidupan masyarakat;
4. Ilmu Pengetahuan kerohanian, yang merupakan kelompok ilmu pengetahuan yang mempelajari perwujudan spiritual kehidupan bersama manusia.
• SOSIOLOGI DAN ILMU SOSIAL
• Sosiologi adalah ilmu sosial yang obyeknya adalah masyarakat. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, yang ciri-ciri utamanya adalah:
1. Sosiologi bersifat empiris, berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut berdasarkan observasi terhadap kenyataan dan akal sehat, serta hasilnya tidak bersifat spekulatif;
2. Sosiologi bersifat teoretis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut merupakan kerangka unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori;
3. Sosiologi bersifat kumulatif artinya teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, serta memperluas teori-teori lama;
4. Bersifat non-etis, yakni yang dipersoalkan bukan baik-buruk fakta tertentu, tetapi tujuannya untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis.
Hubungan sosiologi dengan ilmu sosial lainnya
Masyarakat yang menjadi obyek ilmu sosial dapat dilihat sebagai sesuatu yang terdiri dari beberapa segi, yaitu:
• Segi ekonomi, yang berkaitan dengan aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa; Segi ekonomi dipelajari oleh Ilmu Ekonomi.
• Segi kehidupan politik, berhubungan dengan penggunaan kekuasaan dalam masyarakat; Segi kehidupan politik dipelajari oleh Ilmu politik
• Antropologi, memusatkan perhatian pada masyarakat-masyarakat yang masih sederhana taraf kebudayaannya, sedangkan sosiologi menyelidiki masyarakat modern yang sudah kompleks (Soekanto, 2002)
• Chester L. Hunt: ada dua cara memberi arti batasan Ilmu Pengetahuan, yaitu: (1) suatu kesatuan susunan pengetahuan yang telah diverifikasikan (telah dibuktikan kebenarannya melalui penyelidikan ilmiah); (2) suatu metode studi dengan kesatuan susunan pengetahuan yang diverifikasi itu diperoleh.
• Jadi Sosiologi dapat diterima sebagai ilmu pengetahuan, karena dibangun dari kesatuan susunan pengetahuan atas dasar penyelidikan ilmiah dengan menggunakan metode-metode ilmiah.
• KARAKTERISTIK SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU
1. Bersifat empiris: dibangun dari hasil observasi terhadap fakta dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif;
2. Bersifat teoretis, selalu menyusun abstarksi hasil observasi. Abstraksi merupakan kerangka dari unsur-unsur yang tersusun secara logis, bertujuan menjelaskan hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori;
3. Bersifat kumulatif: berarti teori-teori sosiologi berkembang atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas dan memperhalus teori-teori yang lama;
4. Bersifat non-etis: tidak mempersoalkan baik-buruknya fakta sosial tertentu, tetapi tujuannya menjelaskan fakta sosial secara analitis.
• SOSIOLOGI SEBAGAI METODE
Suatu ilmu dapat dirumuskan dalam dua cara, yaitu:
1. suatu ilmu adalah suatu kerangka pengetahuan yang tersusun dan teruji yang diperoleh melalui suatu penelitian ilmiah;
2. suatu ilmu adalah suatu metode untuk menemukan suatu kerangka pengetahuan yang tersusun dan teruji. Bila rumusan pertama diterima, maka sosiologi adalah suatu ilmu sejauh sosiologi mengembangkan suatu kerangka pengetahuan yang tersusun dan teruji yang didasarkan pada penelitian ilmiah. Bila ilmu didefinisikan sebagau suatu metode penelaahan, maka sosiologi adalah suatu ilmu sejauh sosiologi menggunakan metode penelitian ilmiah.
• METODE DALAM SOSIOLOGI
Menurut Soekanto, pada dasarnya ada dua jenis metode dalam mengkaji masyarakat, yaitu:
1. Metode kualitatif: mendeskripsikan hasil penelitian berdasarkan penilaian thd data yg tidak dapat diukur dengan angka. Metode kualitatif ada tiga, yaitu: (a) Metode Historis: deskripsi dan analisis data berdasarkan pada peristiwa masa lampau untuk mengetahui sebab kejadian sekarang; (b) Metode Komparatif: membanding data kondisi masyarakat satu dengan lainnya, dan mengetahui sebab terjadinya kondisi masyarakat itu; (c) Studi Kasus, yaitu memusatkan kajian pada fenomena sosial tertentu, lembaga, kelompok, maupun individu.
2. Metode kuantitatif: cara penelitian yang dalam analisis datanya mengutamakan keterangan berdasarkan angka-angka, gejala yang diteliti diukur dengan skala, indeks, tabel atau formula-formula tertentu yang pada dasarnya cenderung menggunakan uji statistik.
METODE INDUKTIF DAN DEDUKTIF
Metode berpikir didasarkan pada cara berpikir induktif dan deduktif.
1. Metode induktif adalah cara untuk mempelajari suatu keadaan dari gejala yang khusus untuk mendapatkan kaidah-kaidah yang berlaku dalam lapangan yang lebih luas.
2. Sedangkan metode deduktif adalah yang menggunakan proses sebaliknya, yaitu mulai dengan kaidah-kaidah yang dianggap umum untuk kemudian dipelajari dalam keadaan yang khusus.
APLIKASI METODE SOSIOLOGI
a. Metode ilmiah sosiologi dalam aplikasinya senantiasa diawali dengan mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah, kemudian menentukan ruang lingkup penelitian, merumuskan hipotesis sesuai dengan rumusan masalah.
b. memilih dan menentukan metode apa yang tepat dan bermanfaat dalam pengumpulan data, sehingga dapat membuktikan relevansi hipotesis terhadap rumusan masalah yang telah ditentukan.
• TUJUAN SOSIOLOGI
1. Mendalami masyarakat melalui penelitian ilmiah sehingga mengahasilkan prinsip dan pola umum;
2. Pengetahuan mengenai hakikat, sifat dan struktur masyarakat;
3. Memperoleh pengetahuan tentang hubungan dan pengaruh timbal-balik antara aneka macam gejala sosial;
4. Hubungan timbal-balik antar gejala sosial dengan non-sosial dan memprediksi perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat;
5. Menginformasikan hasil penelitian ilmiah kepada publik dan masukan publik dijadikan pertimbangan mengembangkan sosiologi dan perencanaan pembangunan
• FUNGSI SOSIOLOGI
1. Menyediakan pandangan mengenai lingkungan sosial secara lebih baik, sekaligus bisa meneliti kembali kehidupan masyarakat;
2. Membantu manusia memahami diri dan lingkungannya tentang peranan kekuatan sosial dalam masyarakat;
3. Memberikan berbagai wawasan baru mengenai keluarga, interaksi sosial, hubungan sosial dan perubahan sosial;
4. Memberikan informasi dan pandangan baru mengenai masalah sosial-budaya yang dihadapi anggota masyarakat;
5. Memberikan kemampuan dasar untuk mengetahui mengapa masyarakat bertindak dengan cara yang mereka lakukan;
6. Memudahkan manusia mengenal seluk-beluk tradisi adat, memperluas pengetahuan mengenai perbedaan perilaku sosial, dan kemampuan adaptasi dengan pola tindakan baru.
• MANFAAT SOSIOLOGI
KEGUNAAN DALAM PENELITIAN
1. Memberi pemahaman simbol-simbol, kata-kata, kode-kode, dan berbagai istilah yang digunakan masyarakat dalam kehidupan sosial;
2. Memberi kemampuan untuk mempertimbangkan berbagai fenomena sosial yang timbul dalam masyarakat terlepas dari prasangka subyektif;
3. Memberi kemampuan berpikir dalam melihat kecenderungan arah perubahan perilaku masyarakat atas sebab-sebab tertentu;
4. Memberikan sikap kehati-hatian dalam menjaga argumen yang logis sehingga tidak terjebak dalam logika ideal tetapi palsu;
KEGUNAAN DALAM PERENCANAAN SOSIAL
1. Mengatasi kemungkinan terjadinya masalah dalam proses perubahan sosial, dengan mengkordinasikan antarpotensi, disiplin, dan kegiatan seluruh anggota masyarakat;
2. Memudahkan proses penyusunan, dan proses sosialisasi perencanaan sosial dengan memanfaat pengetahuan sosiologi;
3. Menggunakan cara berpikir sosiologis, maka perencanaan sosial dapat dimanfaatkan untuk mengetahui batas-batas keterbelakangan dan kemajuan kebudayaan masyarakat.
KEGUNAAN DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN
1. Sebagai acuan dalam mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan sosial, pusat perhatian sosial, stratifikasi sosial, pusat-pusat kekuasaan, serta sistem dan saluran-saluran komunikasi sosial;
2. Pada taraf pelaksanaan, sosiologi dapat berguna untuk melakukan identifikasi terhadap kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat, serta mengamati perubahan-perubahan sosial yang terjadi;
Pengetahuan sosiologi dapat digunakan untuk menganalisis efek-efek sosial dari pembangunan
KEGUNAAN DALAM PEMECAHAN MASALAH SOSIAL
1. Pendekatan dan metode pemecahan masalah dalam sosiologi dapat digunakan memecahkan masalah-masalah aktual dalam masyarakat;
2. Secara umum ada dua pendekatan dan metode dalam penanggulangan masalah-masalah sosial, yaitu:
a. Pendekatan/metode preventif, dilakukan dengan mengadakan penelitian mendalam terhadap gejala-gejala sosial yang kemungkinan menimbulkan masalah-masalah sosial;
b. Pendekatan/metode represif, yaitu proses penanggulangan secara langsung terhadap masalah sosial yang ada dan dirasakan masyarakat, artinya tindakan penanggulangan baru dilakukan, setelah gejala sosial itu dapat dipastikan sebagai masalah sosial.
• PERKEMBANGAN SOSIOLOGI
• Bouman membagi perkembangan sosiologi menjadi 4 fase , yaitu:
1. sosiologi sebagai bagian dari pandangan tentang kehidupan bersama secara filsafat umum, terutama tentang negara, hukum, dan moral yang tersimpul dalam kaidah-kaidah etika. Pada fase ini sosiologi merupakan cabang filsafat, yaitu Filsafat Sejarah atau Filsafat Sosial.
2. dimana timbul keinginan untuk membangun susunan ilmu berdasarkan pengalaman-pengalaman dari peristiwa nyata, bukan hanya hasil renungan saja dan memisahkan alam pikiran secara lambat laun dari ajaran gereja.
3. merupakan awal dari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berndiri sendiri. Orang mengatakan bahwa Comte adalah “bapak sosiologi”, karena ia pertama kali menggunakan istilah sosiologi dalam pembahasan tentang masyarakat.
4. ciri utamanya adalah keinginan untuk bersama-sama memberikan batas yang tegas tentang obyek sosiologi, sekaligus memberikan pengertian dan metode-metode sosisologi yang khusus.
• PARADIGMA SOSIOLOGI
1. Paradigma Fakta Sosial
a. Pengertian: Fakta sosial adalah barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi obyek penyelidikan ilmu pengetahuan, yang tidak dapat difahami melalui kegiatan mental murni. Untuk memahami diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Fakta sosal harus diteliti di dalam dunia nyata sebagaimana orang mencari barang sesuatu yang lain.
b. Jenis Fakta sosial, ada dua, yaitu: (1) fakta sosial dalam bentuk materiil, (2) fakta sosial dalam bentuk non-materiil, yang fenomena yang muncul dari diri sendiri. Misalnya egoisme, altruisme, kepedulian sosial
c. Obyek kajian ilmu sosial menurut Paradigma Fakta sosial
adalah fakta sosial, terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Secara rinci, fakta sosial terdiri atas: kelompok sosial, kesatuan sosial tertentu, sistem sosial, posisi, peranan, nilai, keluarga, pemerintah dan sebagainya.
. Paradigma Definisi Sosial
a. Pengertian
mempelajari tindakan manusia yang penuh arti atau penuh makna melalui penafsiran dan memahami tindakan sosial dan hubungan sosial untuk sampai pada penjelasan kausal, tindakan manusia dipengaruhi oleh struktur sosial dan pranata sosial.
Tindakan sosial dapat dalam bentuk tindakan nyata diarahkan pada orang lain dan tindakan yang bersifat “membatin” atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu.
Obyek kajian Sosiologi
Berdasarkan konsep tindakan sosial dan antar hubungan sosial itu Weber mengemukan lima ciri kajian sosiologi:
1. tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif.
2. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif.
3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang, serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.
Obyek kajian Sosiologi
Berdasarkan konsep tindakan sosial dan antar hubungan sosial itu Weber mengemukan lima ciri kajian sosiologi:
1. tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif.
2. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif.
3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang, serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.
3. PARADIGMA PERILAKU SOSIAL
• Paradigma perilaku sosial memusatkan perhatian kepada antara hubungan antara individu dan lingkungannya. Lingkungan itu terdiri atas: (a) bermacam-macam obyek sosial; (b) bermacam-macam obyek non-sosial.
• Pokok persoalan yang dikaji sosiologi adalah tingkahlaku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan perubahan terhadap tingkahlaku. Jadi terdapat hubungan fungsional antara tingkahlaku dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan aktor.
• PANDANGAN COMTE
membagi sosiologi menjadi dua bagian, yaitu: Social Statics dan Social Dynamics.
• Social Statics, maksudnya adalah suatu penelitian atau studi tentang hukum-hukum aksi dan reaksi antara bagian-bagian dari suatu social system. Pada bagian ini Comte mengatakan bahwa social statics merupakan bagian awal dari ilmu pengetahuan sosiologi, namun bukan merupakan bagian penting dari sosiologi.
• Comte menandasakan bahwa bagian terpenting dalam studi sosiologi adalah social dynamics yang diartikan sebagai teori tentang kemajuan atau perkembangan masyarakat. Comte memandang masyarakat sebagai kesatuan yang dalam bentuk dan arahnya tidak bengantung pada inisiatif bebas anggotanya, melainkan pada proses spontan-otomatis perkembangan akal budi manusia.
PERKEMBANGAN AKAL BUDI MANUSIA (Comte)
• Comte membedakan tiga tahap perkembangan akal budi, yaitu tahap religius, tahap tahap metafisik, dan tahap positif. Ketiga tahap tersebut diterangkan oleh Veeger, yaitu: Pada tahap religius, masyarakat dihayati sebagai kehendak Dewa atau Allah. Pemerintahnya berstruktur feodal atau faternalistis. Ekonominya bercorak “militeristis” dalam arti bahwa orangnya tidak memprodusir sendiri barang kebutuhan mereka, tetapi memetik hasil bumi atau meramu saja. Tahap metafisika mengakibatkan kemunduran agama, hal mana langsung kentara dalam revolusi dan perombakan atas kehidupan bersama yang tradisional. Tahap positivisme sekarang membangun kembali suatu orde baru yang kokohkuat, dimana peranan agama dan filsafat diambil alih oleh ilmu pengetahuan positif yang tangguh dan universal. Pada zaman positivisme, menurut Comte, hegemoni agama mesti diganti dengan hegemoni ilmu pengetahuan, ulama dengan sarjana, kuil atau gereja dengan universitas. Bagi Comte, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan.
Sumber : hasil penataran di Malang.
Drs. Kt. Diara Astawa, SH, M.Si
FIS Universitas Negeri Malang
• DEFINISI SOSIOLOGI
1. Sosiologi mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan (hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formil maupun materiil, statis maupun dinamis (Mayor Polak)
2. Sosiologi mempelajari (1) hubungan dan pengaruh timbal balik aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik dan sebagainya); (2) hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial (misalnya gejala geografis, biologis dan sebagainya); (3) ciri-ciri umum dari semua jenis gejala sosial (Pitirim A. Sorokin)
3. Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan kelompok-kelompok (Roucek and Warren).
4. Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial (William F. Ogburn and Meyer F. Nimkoff).
5. Sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial, lapisan-lapisan sosial. Sedangkan proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal balik antara kehidupan ekonomi dengan kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum dengan kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dengan kehidupan ekonomi, dan sebagainya.
6. SIFAT HAKIKAT SOSIOLOGI
a. Sosiologi adalah ilmu sosial, yang mengkaji hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok dan manusia dengan lingkungannya.
b. Sosiologi bukan disiplin yang normatif, tetapi disiplin yang kategoris, artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini dan bukan apa yang seharusnya terjadi.
c. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan murni dan bukan ilmu pengetahuan terapan. Tujuan sosiologi untuk memdapatkan pengetahuan yang sedalam-dalamnya tentang masyarakat dan bukan untuk menggunakan pengetahuan tsb terhadap masyarakat.
d. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak, artinya yang diperhatikan adalah bentuk dan pola peristiwa dalam masyarakat.
e. Sosiologi bertujuan menghasilkan pengertian-pengertian dan pola umum. Sosiologi meneliti dan mencari apa yang menjadi prinsip, hukum umum interaksi manusia, hakikat, bentuk, isi dan struktur masyarakat.
f. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang umum, artinya mempelajari gejala yang umum pada setiap interaksi antar manusia.
g. Jadi sosiologi adalah ilmu sosial yang kategoris, murni, abstrak, berusaha mencari pengertian umum, rasional, empiris dan bersifat umum.
• TINJAUAN KASUS
• Kasus Hubungan Poilitik dengan sosial budaya
Dewan Adat Papua Tolak Transmigran (Kompas, 27 April 2010). Pembukaan lahan dan pengiriman transmigran ke Papua dinilai sebagai bentuk margjinalisasi orang asli Papua. Karena itu, menolak kebijakan pemerintah, mengatakan: “kami secara resmi dan tegas tidak setuju dan menolak transmigrasi ke Papua. Kami orang asli Papua tidak mau jadi minoritas di tanah air sendiri”, kata Forkorus, Ketua Dewan Adat Papua. Forkorus meminta pemerintah provinsi dan kabupaten secara tegas menolak rencana pengiriman transmigrasi ke tanah Papua. Pemerintah sebaiknya mengurus masalah warga di tanah Papua yang sudah ada, jangan sampai nanti banyak orang pendatang ke Papua lalu tidak dapat kerja, jadi bikin kriminal. Menurut Forkorus, pembukaan lahan di Papua untuk pertanian transmigran mengingkari program pemerintah untuk melestarikan hutan Papua. Dua pertiga tanah Papua merupakan wilayah pegunungan. Kalau gunung-gunung dibuka akan terjadi banjir, tanah longsor, ini sama dengan menggali kuburan sendiri. Mahasiswa papua juga mengatakan menolak dengan tegas setiap program transmigrasi di tanah Papua. Program itu tidak membawa kesejahteraan bagi orang Papua.
Transmigrasi yang dimulai di Papua sejak 40 tahun lalu, katanya, malah menciptakan kesenjangan sosial ekonomi antara pendatang dengan orang asli Papua. Transmigrasi itu untuk kepentingan siapa? Setiap program pemerintah harusnya semangatnya pada UU Otonomi khusus yang berpihak kepada orang asli Papua, kata Siriwa (mhs)
• Dialog Atasi Perbedaan (Kompas 27 April 2010)
Pandangan dan sikap umat terhadap agama terus bergeser seiring perkembangan zaman. Perubahan pandangan itu membuat sikap umat terhadap umat beragama lainnya juga beragam dan terus berubah. Dialog antar umat agama merupakan media yang efektif untuk mengurangi ketegangan akibat perbedaan yang terjadi. Perubahan paradigma keagamaan tidak hanya disebabkan karena perkembangan jaman semata, tetapi juga ada keterlibatan pengaruh politik di dalamnya. Semula agama berkembang dalam kelompok kecil. Berabad-abad kemudian, agama terus berubah dengan munculnya kerajaan-kerajaan teokrasi hingga mengalami modernisasi seperti sekarang. Setiap pase perubahan paradigma umumnya memiliki ciri-ciri khusus baik dalam sisi pelaku, waktu maupun tempatnya.
“Manusia berubah , pandangannya terhadap agama juga berubah yang disesuaikan dengan kondisi dan nilai yang ada (kata Hans Kung). Dalam perubahan paradigma itulah dibutuhkan komitmen terhadap nilai-nilai dasar agama sebagai etika global. Magnis suseno mengatakan, dialog antar umat beragama memang sulit dilakukan karena kompleksnya persoalan yang ada. Namun, harus terus dilakukan untuk mengurangi ketegangan dan menumbuhkan saling percaya diantara umat beragama dalam memahami perubahan paradigma. Jika perubahan paradigma tidak difahami, yang muncul adalah absolutisme. Said Aqiel Siradj mengatakan, hal yang paling merusak agama adalah politik. Munculnya negara dengan identitas agama justru menyalahi konsep agama yang mengutamakan nilai-nilai perdamaian, keadilan dan kemanusiaan. Konflik agama yg muncul bukan disebabkan oleh ajaran agamanya, melainkan oleh kepentingan politik umat beragama. Di Negara-negara berkembang agama sering kali dijadikan alat melegitimasi segala sesuatu.
• OBYEK SOSIOLOGI
• Obyek Sosiologi adalah masyarakat, yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat.
• Masyarakat meliputi: (a) struktur sosial mencakup keseluruhan jalinan unsur-unsur sosial (norma sosial, lembaga sosial, kelompok sosial dan lapisan sosial); (b) proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama (kehidupan hukum dengan agama, kehidupan agama dengan ekonomi, dsb); (c) perubahan sosial (perubahan struktur dan kultural).
• OBYEK SOSIOLOGI
Gunawan memerinci obyek sosiologi, Mencakup:
1. Struktur sosial, adalah jalinan dari seluruh unsur-unsur sosial;
2. Unsur-unsur sosial yang pokok adalah norma sosial, lembaga sosial, kelompok sosial dan lapisan sosial;
3. Proses sosial, adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama;
4. Perubahan sosial, adalah segala perubahan yang terjadi pada lembaga sosial dalam masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial, seperti nilai, sikap, dan sebagainya.
• PENGERTIAN STRUKTUR SOSIAL
• Istilah struktur dapat diterjemahkan dengan susunan, bagan, bangunan, skema atau gambar konkrit tentang sesuatu.
• Struktur sosial adalah susunan atau bangunan masyarakat yang menggambarkan suatu lembaga sosial atau pranata sosial yang berlapis-lapis
• Soekanto (1983): Struktur sosial adalah hubungan timbal balik antara posisi-posisi sosial dan antara peranan-peranan
• Struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya mengandung hubungan-hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu keteraturan perilaku, sehingga memberikan bentuk suatu masyarakat.
• STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA
Ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik, yaitu:
a. secara horizontal, ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku-bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan.
b. Secara vertikal, struktur masyarakat indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Pengaruh dari kondisi masyarakat Indonesia yang memiliki kemajemukan suku bangsa, kehidupan keagamaan, ras dan antar golongan, sebagai akibat perubahan sosial dan krisis multi dimensional yang berkepanjangan, memicu keresahan sosial dan kerusuhan massa di berbagai daerah sangat berpengaruh terhadap keseimbangan, dan stabilitas masyarakat Indonesia sebagai sistem sosial.
• Status dan Peranan Sosial
Status
adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang-orang lain dalam kelompok tersebut atau tempat suatu berhubungan dengan kelompok-kelompok lainnya di dalam kelompok yang lebih besar lagi.
Status Sosial
– Mayor Polak (1979): kedudukan sosial seorang oknum dalam kelompok serta dalam masyarakat
– Soerjono Soekanto (2002): tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya.
– Perbedaan status sosial
Dalam masyarakat senantiasa ada perbedaan status antara orang yang satu dengan yang lainnya, antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Ada yang mempunyai status sosial tinggi ada yang mempunyai status sosial rendah, sehingga nampak berlapis-lapis dari atas ke bawah.
• SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU
ILMU PENGETAHUAN
• Pengetahuan adalah suatu kesan dalam pikiran manusia sebagai hasil dari pengamatan dan pengalaman masa lampau yang mengandung kebenaran.
• Ilmu adalah akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan atau ilmu adalah kesatuan pengetahuan yang terorganisasikan
• Ilmu pengetahuan sebagai pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang dapat diamati oleh panca indera manusia.
• Pengetahuan dapat disebut Ilmu pengetahuan, apabila pengetahuan itu telah disusun secara sistematis, yaitu tersusun secara berurutan dan merupakan suatu kebulatan
• Jadi Ilmu Pengetahuan adalah pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran yang selalu dapat diperiksa dan ditelaah dengan kritis oleh setiap orang.
TIMBULNYA ILMU PENGETAHUAN
1. Pada hakikatnya ilmu pengetahuan timbul karena adanya hasrat ingin tahu manusia terhadap aspek-aspek kehidupan;
2. Setelah manusia memperoleh pengetahuan tentang sesuatu, kemudian diteruskan dengan penemuan secara kebetulan, melakukan percobaan, dan penelitian ilmiah;
3. Penelitian ilmiah dilakukan manusia untuk menyalurkan hasrat ingin tahu yang telah mencapai tarap keilmuan, disertai keyakinan bahwa setiap gejala dapat ditelaah dan dicari sebab-akibatnya;
4. Suatu penelitian dimulai apabila seseorang berusaha memecahkan masalah secara sistematis dengan metode-metode tertentu, yaitu metode-metode ilmiah untuk menemukan kebenaran. Jadi penelitian merupakan bagian pokok dari ilmu pengetahuan bertujuan lebih mengetahui dan mendalami segala segi kehidupan untuk memperkuat ilmu pengetahuan.
• KELOMPOK ILMU PENGETAHUAN
BERDASARKAN OBYEKNYA ADA EMPAT KELOMPOK ILMU PENGETAHUAN (SOEKANTO, 2002):
1. Ilmu Matematika
2. Ilmu Pengetahuan Alam, yaitu kelompok ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala alambaik yang hayati (life sciences) maupun yang tidak hayati (fisika).
3. Ilmu tentang perilaku (behavioral sciencs) yang disatu pihak menyoroti perilaku hewan (animal behavior) dan dilain pihak menyoroti perilaku manusia (human behavior). Yang terakhir ini sering kali dinamakan ilmu-ilmu sosial yang mencakup pelbagai ilmu pengetahuan yang masing-masing menyoroti suatu bidang dalam kehidupan masyarakat;
4. Ilmu Pengetahuan kerohanian, yang merupakan kelompok ilmu pengetahuan yang mempelajari perwujudan spiritual kehidupan bersama manusia.
• SOSIOLOGI DAN ILMU SOSIAL
• Sosiologi adalah ilmu sosial yang obyeknya adalah masyarakat. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, yang ciri-ciri utamanya adalah:
1. Sosiologi bersifat empiris, berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut berdasarkan observasi terhadap kenyataan dan akal sehat, serta hasilnya tidak bersifat spekulatif;
2. Sosiologi bersifat teoretis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut merupakan kerangka unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori;
3. Sosiologi bersifat kumulatif artinya teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, serta memperluas teori-teori lama;
4. Bersifat non-etis, yakni yang dipersoalkan bukan baik-buruk fakta tertentu, tetapi tujuannya untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis.
Hubungan sosiologi dengan ilmu sosial lainnya
Masyarakat yang menjadi obyek ilmu sosial dapat dilihat sebagai sesuatu yang terdiri dari beberapa segi, yaitu:
• Segi ekonomi, yang berkaitan dengan aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa; Segi ekonomi dipelajari oleh Ilmu Ekonomi.
• Segi kehidupan politik, berhubungan dengan penggunaan kekuasaan dalam masyarakat; Segi kehidupan politik dipelajari oleh Ilmu politik
• Antropologi, memusatkan perhatian pada masyarakat-masyarakat yang masih sederhana taraf kebudayaannya, sedangkan sosiologi menyelidiki masyarakat modern yang sudah kompleks (Soekanto, 2002)
• Chester L. Hunt: ada dua cara memberi arti batasan Ilmu Pengetahuan, yaitu: (1) suatu kesatuan susunan pengetahuan yang telah diverifikasikan (telah dibuktikan kebenarannya melalui penyelidikan ilmiah); (2) suatu metode studi dengan kesatuan susunan pengetahuan yang diverifikasi itu diperoleh.
• Jadi Sosiologi dapat diterima sebagai ilmu pengetahuan, karena dibangun dari kesatuan susunan pengetahuan atas dasar penyelidikan ilmiah dengan menggunakan metode-metode ilmiah.
• KARAKTERISTIK SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU
1. Bersifat empiris: dibangun dari hasil observasi terhadap fakta dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif;
2. Bersifat teoretis, selalu menyusun abstarksi hasil observasi. Abstraksi merupakan kerangka dari unsur-unsur yang tersusun secara logis, bertujuan menjelaskan hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori;
3. Bersifat kumulatif: berarti teori-teori sosiologi berkembang atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas dan memperhalus teori-teori yang lama;
4. Bersifat non-etis: tidak mempersoalkan baik-buruknya fakta sosial tertentu, tetapi tujuannya menjelaskan fakta sosial secara analitis.
• SOSIOLOGI SEBAGAI METODE
Suatu ilmu dapat dirumuskan dalam dua cara, yaitu:
1. suatu ilmu adalah suatu kerangka pengetahuan yang tersusun dan teruji yang diperoleh melalui suatu penelitian ilmiah;
2. suatu ilmu adalah suatu metode untuk menemukan suatu kerangka pengetahuan yang tersusun dan teruji. Bila rumusan pertama diterima, maka sosiologi adalah suatu ilmu sejauh sosiologi mengembangkan suatu kerangka pengetahuan yang tersusun dan teruji yang didasarkan pada penelitian ilmiah. Bila ilmu didefinisikan sebagau suatu metode penelaahan, maka sosiologi adalah suatu ilmu sejauh sosiologi menggunakan metode penelitian ilmiah.
• METODE DALAM SOSIOLOGI
Menurut Soekanto, pada dasarnya ada dua jenis metode dalam mengkaji masyarakat, yaitu:
1. Metode kualitatif: mendeskripsikan hasil penelitian berdasarkan penilaian thd data yg tidak dapat diukur dengan angka. Metode kualitatif ada tiga, yaitu: (a) Metode Historis: deskripsi dan analisis data berdasarkan pada peristiwa masa lampau untuk mengetahui sebab kejadian sekarang; (b) Metode Komparatif: membanding data kondisi masyarakat satu dengan lainnya, dan mengetahui sebab terjadinya kondisi masyarakat itu; (c) Studi Kasus, yaitu memusatkan kajian pada fenomena sosial tertentu, lembaga, kelompok, maupun individu.
2. Metode kuantitatif: cara penelitian yang dalam analisis datanya mengutamakan keterangan berdasarkan angka-angka, gejala yang diteliti diukur dengan skala, indeks, tabel atau formula-formula tertentu yang pada dasarnya cenderung menggunakan uji statistik.
METODE INDUKTIF DAN DEDUKTIF
Metode berpikir didasarkan pada cara berpikir induktif dan deduktif.
1. Metode induktif adalah cara untuk mempelajari suatu keadaan dari gejala yang khusus untuk mendapatkan kaidah-kaidah yang berlaku dalam lapangan yang lebih luas.
2. Sedangkan metode deduktif adalah yang menggunakan proses sebaliknya, yaitu mulai dengan kaidah-kaidah yang dianggap umum untuk kemudian dipelajari dalam keadaan yang khusus.
APLIKASI METODE SOSIOLOGI
a. Metode ilmiah sosiologi dalam aplikasinya senantiasa diawali dengan mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah, kemudian menentukan ruang lingkup penelitian, merumuskan hipotesis sesuai dengan rumusan masalah.
b. memilih dan menentukan metode apa yang tepat dan bermanfaat dalam pengumpulan data, sehingga dapat membuktikan relevansi hipotesis terhadap rumusan masalah yang telah ditentukan.
• TUJUAN SOSIOLOGI
1. Mendalami masyarakat melalui penelitian ilmiah sehingga mengahasilkan prinsip dan pola umum;
2. Pengetahuan mengenai hakikat, sifat dan struktur masyarakat;
3. Memperoleh pengetahuan tentang hubungan dan pengaruh timbal-balik antara aneka macam gejala sosial;
4. Hubungan timbal-balik antar gejala sosial dengan non-sosial dan memprediksi perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat;
5. Menginformasikan hasil penelitian ilmiah kepada publik dan masukan publik dijadikan pertimbangan mengembangkan sosiologi dan perencanaan pembangunan
• FUNGSI SOSIOLOGI
1. Menyediakan pandangan mengenai lingkungan sosial secara lebih baik, sekaligus bisa meneliti kembali kehidupan masyarakat;
2. Membantu manusia memahami diri dan lingkungannya tentang peranan kekuatan sosial dalam masyarakat;
3. Memberikan berbagai wawasan baru mengenai keluarga, interaksi sosial, hubungan sosial dan perubahan sosial;
4. Memberikan informasi dan pandangan baru mengenai masalah sosial-budaya yang dihadapi anggota masyarakat;
5. Memberikan kemampuan dasar untuk mengetahui mengapa masyarakat bertindak dengan cara yang mereka lakukan;
6. Memudahkan manusia mengenal seluk-beluk tradisi adat, memperluas pengetahuan mengenai perbedaan perilaku sosial, dan kemampuan adaptasi dengan pola tindakan baru.
• MANFAAT SOSIOLOGI
KEGUNAAN DALAM PENELITIAN
1. Memberi pemahaman simbol-simbol, kata-kata, kode-kode, dan berbagai istilah yang digunakan masyarakat dalam kehidupan sosial;
2. Memberi kemampuan untuk mempertimbangkan berbagai fenomena sosial yang timbul dalam masyarakat terlepas dari prasangka subyektif;
3. Memberi kemampuan berpikir dalam melihat kecenderungan arah perubahan perilaku masyarakat atas sebab-sebab tertentu;
4. Memberikan sikap kehati-hatian dalam menjaga argumen yang logis sehingga tidak terjebak dalam logika ideal tetapi palsu;
KEGUNAAN DALAM PERENCANAAN SOSIAL
1. Mengatasi kemungkinan terjadinya masalah dalam proses perubahan sosial, dengan mengkordinasikan antarpotensi, disiplin, dan kegiatan seluruh anggota masyarakat;
2. Memudahkan proses penyusunan, dan proses sosialisasi perencanaan sosial dengan memanfaat pengetahuan sosiologi;
3. Menggunakan cara berpikir sosiologis, maka perencanaan sosial dapat dimanfaatkan untuk mengetahui batas-batas keterbelakangan dan kemajuan kebudayaan masyarakat.
KEGUNAAN DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN
1. Sebagai acuan dalam mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan sosial, pusat perhatian sosial, stratifikasi sosial, pusat-pusat kekuasaan, serta sistem dan saluran-saluran komunikasi sosial;
2. Pada taraf pelaksanaan, sosiologi dapat berguna untuk melakukan identifikasi terhadap kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat, serta mengamati perubahan-perubahan sosial yang terjadi;
Pengetahuan sosiologi dapat digunakan untuk menganalisis efek-efek sosial dari pembangunan
KEGUNAAN DALAM PEMECAHAN MASALAH SOSIAL
1. Pendekatan dan metode pemecahan masalah dalam sosiologi dapat digunakan memecahkan masalah-masalah aktual dalam masyarakat;
2. Secara umum ada dua pendekatan dan metode dalam penanggulangan masalah-masalah sosial, yaitu:
a. Pendekatan/metode preventif, dilakukan dengan mengadakan penelitian mendalam terhadap gejala-gejala sosial yang kemungkinan menimbulkan masalah-masalah sosial;
b. Pendekatan/metode represif, yaitu proses penanggulangan secara langsung terhadap masalah sosial yang ada dan dirasakan masyarakat, artinya tindakan penanggulangan baru dilakukan, setelah gejala sosial itu dapat dipastikan sebagai masalah sosial.
• PERKEMBANGAN SOSIOLOGI
• Bouman membagi perkembangan sosiologi menjadi 4 fase , yaitu:
1. sosiologi sebagai bagian dari pandangan tentang kehidupan bersama secara filsafat umum, terutama tentang negara, hukum, dan moral yang tersimpul dalam kaidah-kaidah etika. Pada fase ini sosiologi merupakan cabang filsafat, yaitu Filsafat Sejarah atau Filsafat Sosial.
2. dimana timbul keinginan untuk membangun susunan ilmu berdasarkan pengalaman-pengalaman dari peristiwa nyata, bukan hanya hasil renungan saja dan memisahkan alam pikiran secara lambat laun dari ajaran gereja.
3. merupakan awal dari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berndiri sendiri. Orang mengatakan bahwa Comte adalah “bapak sosiologi”, karena ia pertama kali menggunakan istilah sosiologi dalam pembahasan tentang masyarakat.
4. ciri utamanya adalah keinginan untuk bersama-sama memberikan batas yang tegas tentang obyek sosiologi, sekaligus memberikan pengertian dan metode-metode sosisologi yang khusus.
• PARADIGMA SOSIOLOGI
1. Paradigma Fakta Sosial
a. Pengertian: Fakta sosial adalah barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi obyek penyelidikan ilmu pengetahuan, yang tidak dapat difahami melalui kegiatan mental murni. Untuk memahami diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Fakta sosal harus diteliti di dalam dunia nyata sebagaimana orang mencari barang sesuatu yang lain.
b. Jenis Fakta sosial, ada dua, yaitu: (1) fakta sosial dalam bentuk materiil, (2) fakta sosial dalam bentuk non-materiil, yang fenomena yang muncul dari diri sendiri. Misalnya egoisme, altruisme, kepedulian sosial
c. Obyek kajian ilmu sosial menurut Paradigma Fakta sosial
adalah fakta sosial, terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Secara rinci, fakta sosial terdiri atas: kelompok sosial, kesatuan sosial tertentu, sistem sosial, posisi, peranan, nilai, keluarga, pemerintah dan sebagainya.
. Paradigma Definisi Sosial
a. Pengertian
mempelajari tindakan manusia yang penuh arti atau penuh makna melalui penafsiran dan memahami tindakan sosial dan hubungan sosial untuk sampai pada penjelasan kausal, tindakan manusia dipengaruhi oleh struktur sosial dan pranata sosial.
Tindakan sosial dapat dalam bentuk tindakan nyata diarahkan pada orang lain dan tindakan yang bersifat “membatin” atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu.
Obyek kajian Sosiologi
Berdasarkan konsep tindakan sosial dan antar hubungan sosial itu Weber mengemukan lima ciri kajian sosiologi:
1. tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif.
2. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif.
3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang, serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.
Obyek kajian Sosiologi
Berdasarkan konsep tindakan sosial dan antar hubungan sosial itu Weber mengemukan lima ciri kajian sosiologi:
1. tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif.
2. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif.
3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang, serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.
3. PARADIGMA PERILAKU SOSIAL
• Paradigma perilaku sosial memusatkan perhatian kepada antara hubungan antara individu dan lingkungannya. Lingkungan itu terdiri atas: (a) bermacam-macam obyek sosial; (b) bermacam-macam obyek non-sosial.
• Pokok persoalan yang dikaji sosiologi adalah tingkahlaku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan perubahan terhadap tingkahlaku. Jadi terdapat hubungan fungsional antara tingkahlaku dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan aktor.
• PANDANGAN COMTE
membagi sosiologi menjadi dua bagian, yaitu: Social Statics dan Social Dynamics.
• Social Statics, maksudnya adalah suatu penelitian atau studi tentang hukum-hukum aksi dan reaksi antara bagian-bagian dari suatu social system. Pada bagian ini Comte mengatakan bahwa social statics merupakan bagian awal dari ilmu pengetahuan sosiologi, namun bukan merupakan bagian penting dari sosiologi.
• Comte menandasakan bahwa bagian terpenting dalam studi sosiologi adalah social dynamics yang diartikan sebagai teori tentang kemajuan atau perkembangan masyarakat. Comte memandang masyarakat sebagai kesatuan yang dalam bentuk dan arahnya tidak bengantung pada inisiatif bebas anggotanya, melainkan pada proses spontan-otomatis perkembangan akal budi manusia.
PERKEMBANGAN AKAL BUDI MANUSIA (Comte)
• Comte membedakan tiga tahap perkembangan akal budi, yaitu tahap religius, tahap tahap metafisik, dan tahap positif. Ketiga tahap tersebut diterangkan oleh Veeger, yaitu: Pada tahap religius, masyarakat dihayati sebagai kehendak Dewa atau Allah. Pemerintahnya berstruktur feodal atau faternalistis. Ekonominya bercorak “militeristis” dalam arti bahwa orangnya tidak memprodusir sendiri barang kebutuhan mereka, tetapi memetik hasil bumi atau meramu saja. Tahap metafisika mengakibatkan kemunduran agama, hal mana langsung kentara dalam revolusi dan perombakan atas kehidupan bersama yang tradisional. Tahap positivisme sekarang membangun kembali suatu orde baru yang kokohkuat, dimana peranan agama dan filsafat diambil alih oleh ilmu pengetahuan positif yang tangguh dan universal. Pada zaman positivisme, menurut Comte, hegemoni agama mesti diganti dengan hegemoni ilmu pengetahuan, ulama dengan sarjana, kuil atau gereja dengan universitas. Bagi Comte, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan.
Sumber : hasil penataran di Malang.
Minggu, Agustus 08, 2010
Interaksi Sosial
MAKALAH
INTERAKSI SOSIAL DAN
MASALAH-MASALAH SOSIAL
Makalah ini disajikan dalam Kegiatan Penataran Guru
Mata Pelajaran Sosiologi SMA Tingkat Nasional Pola
Dukung 120 @ 45 menit di PPPPTK P.Kn dan IPS Malang
Pada Tanggal 22 Juni s.d 5 Juli 2010
Oleh:
Dr. ARIFIN, M.Si.
( Guru Sosiologi SMA Islam dan
Dosen Sosiologi di FPISH IKIP Budi Utomo Malang )
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
DIREKTORAT JENDRAL PENINGKATAN MUTU
PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
PPPPTK P.Kn. DAN IPS MALANG
2010
KATA PENGANTAR
Berkat Rakhat Tuhan Yang Maha Segala-galanya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul ‘Interaksi Sosial dan Masalah-Masalah Sosial’, sesuai dengan rencana waktu yang ditentukan. Makalah ini disajikan pada kegiatan Penataran Guru Mata Pelajaran Sosiologi SMA Tingkat Nasional Pola Dukung 120 @ 45 menit, di PPPPTK P.Kn dan IPS Malang Pada Tanggal 22 Juni s.d 5 Juli 2010
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Kepala PPPPTK P.Kn dan IPS di Malang yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyajikan makalah atau pemateri pada kegiatan penataran Guru Mata Pelajaran Sosiologi SMA Tingkat Nasional pada tanggal 22 Juni s.d 5 Juli 2010.
Menurut para ahli, tidak ada satupun karya ilmiah yang mengkaji tentang fenomena kehidupan sosial budaya yang telah mencapai tingkat kesempurnaan analisis. Oleh karena itu perbedaan sudut pandang dan interpretasi tentang suatu fenomena sosial budaya adalah suatu ‘keniscayaan’, hal ini disebabkan oleh beragam faktor, yaitu adanya: (a) keberagaman orientasi filosofis; (b) keberagaman orientasi teoritik; (c) keberagaman fokus masalah dan pendekatan atau metode analisisnya; (d) keberagaman latar belakang disiplin keilmuan seseorang; dan (e) perbedaan kondisi waktu dan ruang (time and space) yang dialaminya.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa apa yang tersaji dalam makalah ini masih banyak sisi kekurangannya. Oleh karena itu beberapa konsep teoritik tentang ‘Interaksi sosial dan masalah-masalah sosial’ pada masyarakat Indonesia yang multicultural, yang belum diungkap dalam makalah ini dapat dijelaskan atau dikomunikasikan dalam proses diskusi pada saat penyajian makalah.
Akhirnya, semoga apa yang tersaji dalam makalah ini dapat memberikan manfaat bagi Bapak atau Ibu guru peserta penataran dalam rangka meningkatkan kualitas kompetensi profesionalnya selama mengemban amanat sebagai guru Sosiologi di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat. Aamiin.
Malang, Juni 2010
Penulis
DAFTAR ISI
- HALAMAN SAMPUL .................................................................................................... 01
- KATA PENGANTAR .................................................................................................... 02
- DAFTAR ISI ................................................................................................................. 03
I. INTERAKSI SOSIAL
A. Pengertian, Fungsi dan Tujuan Interaksi Sosial .................................................... 04
B. Syarat Terjadinya Interaksi Sosial ......................................... ............................... 05
C. Faktor-Faktor Yang Mendasari Proses Interaksi Sosial ........................................ 05
D.Tahap –Tahap Keteraturan Sosial Dalam Interaksi Sosial... ................................. 05
E. Proses Sosial Asosiattif dan Disosiatif ................................................................... 06
II. MASALAH (PROBLEM) SOSIAL
A. Pengertian Masalah (problem) Sosial .................................................................... 07
B. Masalah Sosial Dalam Perspektif Teoritis ............................................................. 07
C. Sumber Masalah Sosial Dalam Pendekatan Individu
Dan Pendekatan Kelompok .......……………………………………………………. 08
D. Beragam Masalah Sosial Dalam Pembangunan:
1. Masalah kemiskinan ....................................................................................... 09
2. Masalah kenakalan remaja ……………………………………………………. 10
3. Masalah lingkungan hidup ……………………………………………………... 10
4. Masalah konflik SARA …………………………………………………………. 11
5. Masalah kriminalitas ......................... .......……………………………………. 12
6. Masalah aksi protes,pergolakan daerah dan pelanggaran HAM ........……… 12
- DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 13
- RIWAYAT HIDUP PENULIS .......................................................................................... 13
I. INTERAKSI SOSIAL
A. Pengertian, Fungsi dan Tujuan Interaksi Sosial
1. Pengertian interaksi sosial
Interaksi sosial adalah ‘hubungan timbal balik antar individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok dalam proses-proses sosial di masyarakat’. Hubungan timbal balik tersebut disertai dengan adanya kontak sosial dan komunikasi. Oleh karena itu syarat utama terjadinya interaksi sosial adalah: (a) adanya kontak sosial antar kedua belah pihak; dan (b) adanya komunikasi sosial antara kedua belah pihak.
Sedangkan pengertian proses sosial adalah ‘proses interaksi antar aspek atau unsur sosial disepanjang aktivitas kehidupan manusia di masyarakat’. Wujud dari aktivitas proses sosial adalah kegiatan-kegiatan sosial individu dan kelompok dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka pemenuhan beragam kebutuhan hidupnya. Diantara konsep dasar dalam kajian tetang proses sosial adalah ‘interaksi sosial’. Oleh karena itu menurut para ahli, inti atau dasar dari proses-proses sosial di masyarakat adalah ‘interaksi sosial’ (Biesanz, J. and Biesanz, M. 1969; Soekanto, S, 2002). Proses-proses sosial dalam kehidupan di masyarakat bersifat dinamik, dan mendasarkan pada nilai, norma yang berlaku di masyarakat.
2. Fungsi interaksi sosial
Proses interaksi sosial yang bertentuk kerjasama atau kooperatif (asosiatif) mempunyai fungsi positif antara lain: (a) proses pencapaian tujuan hidup individu atau kelompok lebih mudah terwujud; (b) mendorong terwujudnya pola kehidupan individu atau kelompok secara integratif; (c) setiap individu dapat meningkatkan kualitas beragam peran sosial dalam kehidupan kelompok; (d) mendorong terbangunnya sikap mental positif pada setiap individu dalam proses-proses sosialnya; dan (e) mendorong lahirnya beragam inovasi di berbagai bidang menuju masyarakt madani (masyarakat beradab).
Dalam batas-batas tertentu, interaksi sosial dalam bentuk persaingan atau kompetisi (dissosiatif) mempunyai fungsi positif, antara lain: (a) menyalurkan keinginan-keinginan individu atau kelompok yang bersifat kompetitif; (b) sebagai media tersalurkannya keinginan, kepentingan serta nilai-nilai yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian secara baik oleh mereka yang bersaing; (c) merupakan alat untuk menempatkan individu pada status dan peran yang sesuai dengan kemampua/ keahliannya; dan (d) sebagai alat menjaring para individu atau kelompok yang akhirnya menghasilkan pembagian kerja yang efektif.
Demikian juga, dalam batas-batas tertentu, interaksi sosial dalam bentuk konflik (dissosiatif) mempunyai fungsi positif, yaitu: (a) dapat mendorong terjadinya perubahan pola perilaku seseorang atau kelompok ke arah yang lebih baik; (b) dapat mendorong terjadinya atau terbangunnya solidaritas ingroup dalam kehidupan kelompok; dan (c) dapat mendorong lahirnya karya demi karya yang lebih inovatif atau lebih maju (Wilson, E.K. 1966; Mack, R. and Pease, J. 1973).
3. Tujuan interaksi sosial
Interaksi sosial merupakan faktor paling kunci dalam proses-proses sosial. Diantara tujuan seseorang melakukan interaksi sosial antara lain: (a) untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan tertentu, baik yang bersifat individu atau kelompok; (b) untuk proses pemenuhan aneka kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial atau pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik; (c) untuk meningkatkan kualitas kompetensi diri dalam berbagai aspek kehidupan sosial di masyarakat; (d) untuk membangun solidaritas ingroup atau outgroup dalam kehidupan sosial di masyarakat; dan (e) dalam rangka mendapat masukan atau media evaluai diri atau refleksi diri tentag pola perilaku yang telah di lakukan dalam proses-proses sosial (Horton, P. and Hunt, C.L. 1984; Sunarto, K. 2000).
Dalam rangka mewujudkan tujuan interaksi sosial tersebut, maka setiap individu selama proses interaksi sosial harus berdasarkan kepada nilai, norma sosial yang berlaku dalam kelompoknya atau masyarakatnya. Nilai adalah ‘sesuatu yang diangungkan, dianggap baik, dan dijadikan sebagai pedoman berperiku’. Menurut Notonegoro ada tiga macam nilai, yaitu (1) nilai material (segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia); dan (2) nilai vital (segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas hidup); dan (3) Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian terdiri atas empat macam, yaitu: (a) Nilai kebenaran (kenyataan), yaitu nilai yang bersumber pada unsur akal manusia (rasio, budi, dan cipta); (b) Nilai keindahan, yaitu nilai yang bersumber pada unsur perasaan manusia (estetika); (c) Nilai moral (kebaikan), yaitu nilai yang bersumber pada unsur, kehendak, atau kemauan (karsa dan etika); dan (d) Nilai religius, yaitu nilai ketuhanan yang tertinggi, mutlak, dan abadi.Sedangkan norma adalah ‘seperangkat aturan (tertulis dan
tidak tertulis), yang mengatur pola kehidupan dan interaksi seseorang dalam rangka pemenuhan beragam kebutuhan hidup’.
Fungsi nilai dan norma bagi kehidupan bermasyarakat adalah: (1) menetapkan harga sosial seseorang dalam kelompok. Dengan nilai dapat menunjukkan seseorang berada pada pelapisan sosial tertentu di masyarakat; (2) membentuk cara berpikir dan berperilaku secara ideal dalam masyarakat; (3) nilai-norma dapat menjadi faktor penentu yang terakhir bagi manusia dalam menjalankan peranan sosial; (4) nilai-norma sebagai alat pengawas dan pengontrol serta daya ikat tertentu agar seseorang berbuat baik bagi kehidupan; (5) nilai-norma sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama; dan (6) nilai-norma menjadi abstraksi (gambaran) pola perilaku masyarakat (Rose, A. M.1965).
B. Syarat Terjadinya Interaksi Sosial
Ada dua syarat utama terjadinya interaksi sosial, yaitu: (1) adanya kontak sosial. Makna harfiah kontak sosial adalah ‘bersama-sama menyentuh’. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi sentuhan badaniah. Berdasarkan subjek pelakunya kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu: (a) kontak antara orang perorangan; (b) kontak ntara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya; dan (c) kontak antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya; dan (2) adanya komunikasi (communication), berasal dari bahasa Inggris ‘common’, artinya sama. Apabila kita berkomunikasi, berarti kita berusaha untuk menimbulkan sesuatu persamaan (commonnes) dalam hal pemahaman, penafsiran dan sikap dengan seseorang tentang sesuatu. Misalnya, kita bersama-sama mempelajari suatu ide atau cita-cita dengan seseorang. Ini berarti, bahwa kita mengemukakan sesuatu sikap (attitude) yang sama kepada seseorang yang kita ajak berkomunikasi tadi (Pola. J.B.A.F.Major. 1991; Soekanto S., 2002).
C. Faktor-Faktor Yang Mendasari Proses Interaksi Sosial
Faktor penting yang menjadi dasar proses berlangsungnya interaksi sosial adalah: (1) nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Apabila individu atau kelompok dalam proses interaksi sosialnya tidak mendasarkan pada nilai, norma yang berlaku, kehidupan sosial akan terjadi disintegrasi atau ketidakteraturan sosial; dan (2) status dan peranan sosial. Proses interaksi sosial yang dilakukan individu harus memperhatikan status dan peranan yang melekat pada dirinya, juga memperhatikan kewajiban dan hak-haknya.
Menurut para ahli, berlangsungnya proses interaksi sosial dipengaruhi oleh beberapa, antara lain: (1) faktor imitasi; (2) faktor sugesti; (3) faktor simpati; (4) faktor identifikasi; (5) faktor empati; dan (6) faktor motivasi. Keenam faktor tersebut selama proses interaksi sosial bisa terjadi secara sendiri (terpisah) dan juga bisa secara bersama-sama atau integratif.
Pertama, simpati, yaitu suatu proses psikhis di mana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan (aspek psikhis atau kejiwaaan) seseorang memegang peranan yang penting. Dorongan utamanya adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama atau mengikuti untuk melakukan suatu tindakan tertentu; Kedua, sugesti, yaitu dorongan untuk mengikuti atau menerima sikap orang lain tanpa proses pemikiran yang dalam untuk melakukan sesuatu tidakan. Berlangsungnya sugesti dapat terjadi, karena pihak yang menerima sedang mengalami ketidakstabilan pikiran yang dapat menghambat daya berpikir rasional dan akal sehat. Sugesti ini bisa juga sebagai kelanjuan lebih mendalam dari simpati.
Ketiga, imitasi, yaitu dorongan untuk meniru pola aktifitas orang lain. Faktor ini mempunyai peran penting dalam proses interaksi sosial. Segi positifnya adalah imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah dan nilai yang berlaku. Namun, imitasi dapat pula mengakibatkan hal yang negatif misalnya, meniru tindakan yang menyimpang. Selain itu imitasi juga dapat melemahkan atau mematikan pengembangan daya kreatifitas seseorang; Keempat, identifikasi, yaitu merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadikan sama (identik atau serupa) atau meniru untuk berperan atau bersikap sama dengan pihak lain. Identifikasi ini Iebih mendalam daripada imitasi, karena pola sikap seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.
Kelima, empati,yaitu mirip perasaan simpati, akan tetapi tidak semata-mata perasaan kejiwaan saja, melainkan diikuti dengan tindakan nyata secara positif. Empati dibarengi perasaan organisme tubuh yang sangat dalam. Contohnya kalau kita melihat sahabat dekat atau kerabat dekat mengalami kecelakaan, maka perasaan empati menempatkan kita seolah-olah ikut celaka, dan kita langsung melakukan tindakan nyata untuk menolongnya; Keenam, motivasi, yaitu dorongan, rangsangan, pengaruh atau stimulus yang diberikan seorang individu lainnya sedemikian rupa, sehingga orang yang diberi motivasi tersebut menuruti atau melaksanakan apa yang dimotivasikan secara kritis, rasional, dan penuh tanggung jawab (Biesanz, J. and Biesanz, M. 1969; Soekanto, S, 2002).
D.Tahap –Tahap Keteraturan Sosial Dalam Interaksi Sosial
Antara interaksi sosial dan keteratuan sosial mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan yang erat tersebut dapat dipahami dari asumsi sebagai berikut: (1) dalam interaksi sosial selalu terdapat kontak dan komunikasi, tujuan kontak dan komunikasi adalah
untuk mewujudkan keteraturan sosial (ketertiban hidup); (2) keteraturan sosial (ketertiban hidup) akan terwujud apabila proses interaksi berdasarkan pada nilai dan norma sosial yang berlaku; (3) nilai, norma sosial adalah sebagai alat kontrol sosial (pengendalian sosial) terhadap perilaku individu-kelompok untuk terujudnya keteraturan sosial. Jadi, keteraturan sosial itu mempunyai hubungan yang selaras dan serasi antara interaksi sosial, nilai sosial dan norma sosial.
Ditinjau dari segi prosesnya, terbentuknya keteraturan sosial dapat melalui empat tahap, yaitu: (1) tahap tertib sosial (social order), yaitu kondisi kehidupan kelompok yang aman, dinamis teratur, yang ditandai dengan masing-masing anggota kelompok menjalankan kewajiban dan memperoleh haknya dengan baik sesuai dengan status dan peranannya; (2) tahap order, yaitu mengakui dan mematuhi sistem nilai, norma yang berkembang dalam kelompok; (3) tahap keajegan, yaitu suatu kondisi keteraturan perilaku yang tetap (ajeg), terus menerus atau konsisten dalam kehidupan sehari-hari; dan (4) tahap berpola, yaitu corak hubungan (interaksi) yang konsisten, ajeg tersebut dijadikan sebagai model (dilembagakan) bagi semua anggota untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari dalam kelompok. Ketika proses interaksi sosial sudah memasuki tahap berpola, maka proses-proses sosial di masyarakat akan tercipta keteraturan sosial (Rose, A. M. 1965; Wilson, E.K. 1966).
E. Proses Sosial Asosiattif dan Disosiatif
Sosiolog Gillin and Gillin menyebutkan ada dua proses sosial yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu: (1) proses asosiatif atau bersekutu (processes of association); dan (2) proses disosiatif atau memisahkan (processes of dissociation). Proses asosiatif sering mengarah ke pola integrasi sosial, sedangkan proses disosiatif cenderung mengarah ke disintegrasi atau sering disebut proses oposisi (berjuang melawan pihak lain untuk mencapai tujuan) (Rose, A. M. 1965; Green, A. W. 1972).
Pertama, proses asosiatif. Proses sosial asosiatif mempunyai empat bentuk, yaitu: (1) kerjasama (cooperation), yaitu jalinan hubungan timbal balik yang didasarkan atas kesamaan tujuan, kepentingan, dan orientasi hidup. Berdasarkan pelaksanaannya, interaksi sosial dalam bentuk kerjasama dibedakan menjadi lima macam, yaitu: (a) kerukunan atau gotong royong; (b) bargaining, yaitu perjanjian kerjasama tentang pertukaran barang dan jasa; (c) kooptasi, yaitu kerjasama untuk saling menerima unsur-unsur baru dalam pelaksanaan politik organisasi agar tidak terjadi konflik organisasi; (d) koalisi, yaitu kerjasama antara dua atau lebih organisasi yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama; (e) join-venture, yaitu kerjasama dalam pengadaan proyek tertentu yang berbasis ekonomi; (2) akomodasi (accomodation). Dalam proses sosial, akomodasi punya makna dua, yaitu: (a) sebagai keadaan, yang berarti akomodasi adalah suatu keseimbangan interaksi antar individu/ kelompok berdasarkan nilai dan norma kelompok; (b) sebagi proses, yang berarti akomodasi bermakna usaha manusia untuk meredakan dua pihak yang sedang konflik. Akomodasi sebagai proses, mempunyai beberapa bentuk, yaitu: (a) koersi, yaitu akomodasi yang prosesnya melalui pemaksaan; (b) kompromi, yaitu akomodasi yang ditandai oleh masing-masing pihak mengurangi tuntutannya agar ada penyelesaian; (c) arbitrasi, yaitu akomodasi yang menggunakan pihak ketiga, dan pihak ketiga ditentukan oleh badan yang berwenang; (d) mediasi, yaitu mirip dengan arbitrasi, hanya pihak ketiganya netral; (e) konsiliasi, yaitu akomodasi yang menggunakan cara mempertemukan keinginan yang bertikai untuk dibuat kesepakatan; (f) toleransi, akomodasi yang didasarkan atas sikap saling memaklumi; (g) stalemit, yaitu masing-masing pihak mempunyai kekuatan yang seimbang; (h) ajudifikasi, yaitu akomodasi melalui proses pengadilan, dsb. (3) akulturasi, yaitu proses pembauran dua unsur budaya yang berbeda sehingga menghasilkan budaya baru, tetapi tidak menghilangkan unsur aslinya; (4) asimilasi, yaitu proses pembauran dua unsur budaya sehingga menghasilkan budaya baru, yang unsur budaya aslinya mulai hilang.
Kedua, proses disosiatif. Proses sosial disosiatif mempunyai tiga bentuk, yaitu: (1) persaingan (competition), yaitu perjuang individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu, tanpa merugikan pihak lain. Ada dua tipe persaingan, yaitu persaingan individu dn persaingan kelompok; (2) kontravensi (contravention), yaitu suatu bentuk proses sosial antara persaingan dengan konflik. Cirinya adalah: (a) masing-masing mersa saling tidak puas; (b) masing-masing pihak saling memendam perasaan kecewa, ragu dan benci. Istilah sehari-hari tentang kontravensi adalah ‘perang dingin’; (3) konflik, yaitu suatu perjuangan individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dengan jalan menentang atau menyakiti atau
merugikan pihak lain. Macam-macam konflik antara lain konflik, agama, ras, suku, politik, ekonomi, antar kelas, konflik internasional dan sebagainya (Sunarto, K. 2000; Soekanto, S., 2002).
.
II. MASALAH-MASALAH SOSIAL
A. Pengertian Masalah (Problem) Sosial
Masalah sosial dalam perspektif sosiologis sering disebut sebagai problem sosial (social problems) (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984). Masalah sosial merupakan suatu gejala (fenomena) sosial yang mempunyai dimensi atau aspek kajian yang sangat luas atau kompleks, dan dapat ditinjau dari berbagai perspektif (sudut pandang atau teori). Oleh karena itu banyak dijumpai beragam pengertian atau definisi tentang masalah sosial (social problems) yang dikemukakan oleh para ahli. Dari beragam pengertian tentang masalah sosial, dapat disimpulkan bahwa suatu fenomena atau gejala kehidupan dikatakan sebagai masalah sosial (social problems) adalah apabila: (1) sesuatu yang dilakukan seseorang itu telah melanggar atau tidak sesuai dengan nilai-norma yang dijunjung tinggi oleh kelompok; (2) sesuatu yang dilakukan individu atau kelompok itu telah menyebabkan terjadinya disintegrasi kehidupan dalam kelompok; dan (3) sesuatu yang dilakukan inidividu atau kelompok itu telah memunculkan kegelisahan, ketidakbahagiaan individu lain dalam kelompok (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984).
Karena studi masalah sosial itu begitu kompleks, maka analisis tentang suatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) juga dapat diinjau dari beragam perspektif (beragam teori), misalnya sesuatu dikatakan problem menurut teori fungsional struktural akan berbeda dengan menurut teori konflik, atau teori interaksionis simbolik, atau teori integrasi (dalam kajian berikut akan disinggung masing-masing teori). Menurut Parrilo dalam Soetomo (1995), untuk dapat memahami pengertian masalah sosial perlu diperhatikan empat hal, yaitu: (1) masalah itu bertahan untuk suatu periode waktu tertentu; (2) dirasakan dapat menyebabkan beragam kerugian secara fisik dan non fisik pada individu dan kelompok; (3) merupakan pelanggaran terhadap nilai atau standar sosial atau sendi-sendi kehidupan masyarakat; dan (4) menuntut adanya usaha untuk dicarai pemecahannya.
B. Masalah Sosial Dalam Perspektif Teoritis
Dalam perspektif sosiologi, dijumpai berpuluh-puluh teori yang digunakan untuk memahami fenomena sosial. Berikut ini hanya dikemukakan empat teori dalam mencermati atau memahami tentang fenomena sosial, yaitu; (1) teori fungsional struktural; (2) teori konflik; dan (3) teori interaksionis simbolik. Karena keterbatasan ruang/tempat maka pandangan keempat teori tersebut dalam makalah ini hanya dijelaskan konsep-konsep dasarnya saja, dan diharapkan para pembaca bisa mendalami lebih lanjut pada pustaka yang menjadi rujukan kajian ini.
Pertama, teori fungsional struktural. Ada beragam versi teori fungsional struktural. Berikut ini dikemukakan pandangan teori fungsional struktural versi Parsons dalam memahami fenomena sosial, antara lain: (1) konsep kultur, dipandang sebagai sistem simbol yang terpola, teratur yang menjadi orientasi para individu untuk bertindak, berpribadi, bersosialisasi dalam sistem sosial. Jadi, kultur akan menjadi faktor eksternal untuk menekan pola tindakan individu dalam kelompok; (2) konsep sistem. Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung. Sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan hidup dalam kelompok (integrasi sosial). Sistem bergerak dalam proses perubahan yang teratur (evolusi); (3) konsep integrasi. Persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi sosial di dalam sistem sosial adalah proses internalisasi dan sosialisasi. Dalam proses sosialisasi, nilai dan norma diinternalisasikan (norma dan nilai menjadi bagian dari ‘kesadaran’ aktor), sehingga aktor mengabdi pada kepentingan sistem sebagai suatu kesatuan. Individu atau aktor biasanya menjadi penerima pasif dalam proses sosialisasi; dan (4) konsep perubahan,sosial. Teori ini memandang bahwa: (a) proses perubahan yang terjadi akan mengarah pada keseimbangan (equilibrium) dalam sistem sosial, apabila ada konflik internal, perlu dicari upaya-upaya untuk tetap terjaga keseimbangan dalam sistem; (b) perubahan evolusi masyarakat adalah mengarah kepada ‘peningkatan kemampuan adaptasi’, menuju keseimbangan hidup; dan (c) apabila terjadi perubahan struktural, maka akan terjadi perubahan dalam kultur normatif sistem sosial bersangkutan (perubahan sistem nilai-nilai terpenting) (Sztompka, P. 1993; Ritzer dan Goodman, 2003). Masih banyak ciri pandangan teori fungsional struktural yang dikemukakan para teoritisi fungsional struktural.
Dari beberapa pokok pandangan atau asumsi teori fungsional struktural tersebut dapat diambil pemahaman bahwa sesuatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) sosial apabila: (a) sesuatu itu bertentangan dengan budaya sebagai sistem simbol yang dijadikan sebagai orientasi untuk berpola perilaku; (b) sesuatu itu menyebabkan terjadinya disintegrasi atau memudarkan jalinan antar unsur dalam suatu sistem; (c) perubahan sosial yang terjadi bersifat revolusioner akan menghasilkan ketidakseimbangan dalam sistem sosial.
Kedua, teori konflik. Ada banyak versi teori konflik, berikut ini hanya dikemukakan teori konflik versi Dahrendorf. Beberapa konsep dasar pandangan teori konflik Dahrendorf dalam memahami fenomena sosial, antara lain: (1) setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan. Berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan. Apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di lapisan atas; (2) teori konflik menekankan peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat; (3) bahwa masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsensus Bahwa masyarakat tidak ada tanpa konsensus dan konflik, keduanya menjadi persyaratan satu sama lain. Kita tak akan punya konflik kecuali ada konsensus sebelumnya, sebaliknya konflik dapat menimbulkan konsensus dan integrasi; (4) ‘bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis. Bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas yang beragam. Otoritas tidak terletak di dalam individu, tetapi melekat pada posisi. Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam analisis fenomena sosial; (5) otoritas individu ini tunduk pada kontrol yang ditentukan masyarakat. Karena otoritas adalah absah, sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang; (6) masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas; (7) hubungan konflik dengan perubahan adalah bahwa konflik merupakan realitas sosial, dan konflik berfungsi sebagai penyebab terjadinya perubahan dan perkembangan (konflik yang hebat akan membawa perubahan dalam struktur sosial) (Abraham, F.M. 1982; Ritzer dan Goodman, 2003)..Masih banak cirri teori konflik Karl Marx, dan teori neokonflik.
Dari beberapa pokok pandangan atau asumsi teori konflik tersebut dapat diambil pemahaman bahwa sesuatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) sosial apabila: (a) sesuatu itu tidak sesuai dengan kebijakan otoritas penguasa yang berfungsi untuk mempertahankan ketertiban masyarakat; (b) otoritas aktor (individu) tidak tunduk pada kontrol yang ditentukan oleh masyarakat; dan (c) perubahan sosial yang terjadi bersifat evolusi, sehingga kurang menciptakan dinamika kehidupan sosial.
Ketiga, teori interaksionis simbolik. Beberapa konsep dasar pandangan teori interaksionis simbolik H.Mead dalam memahami fenomena sosial atau tindakan individu, antara lain: (1) konsep realitas sosial. Realitas sosial yang sejati itu tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika manusia bertindak ‘di dan terhadap’ dunia. Apa yang nyata bagi manusia tergantung pada definisi atau interpretasi atau pandangan individu itu sendiri; (2) konsep pandangan tentang ‘individu’. Bahwa Individu merespons suatu situasi simbolik. Individu merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (tindakan sosial) berdasarkan makna yang terkandung dalam objek tersebut. Ketika individu menghadapi situasi, responnya bukan bersifat mekanis, tidak juga ditentukan oleh objek itu (eksternal seperti pandangan teori fungsional struktural dan teori konflik), melainkan ditentukan oleh ‘Diri, Jiwa, Pikiran’ individu dalam menginterpretasikan atau mendefinisikan situasi, dan diri, jiwa, pikiran sifatnya dinamik; dan (3) konsep pandangan tentang masyarakat. Bahwa masyarakat sebagai suatu organisasi interaksi, tergantung pada pikiran individu. Masyarakat juga tergantung pada kapasitas diri individu. Dengan demikan masyarakat secara terus menerus akan terjadi perubahan, karena pikiran individu terus berubah melalui interaksi simbolik (Abraham, F.M. 1982; Ritzer dan Goodman, 2003).
Jadi, individu adalah rasional dan produk dari hubungan sosial (interaksi sosial); Masyarakat adalah dinamis dan berevolusi, menyediakan perubahan dan sosialisasi yang baru dari individu; Realitas sosial adalah bersifat individu dan sosial yang dinamik; Interaksi sosial meliputi pikiran, bahasa dan kesadaran akan diri sendiri; Interaksi sosial mengarah pada komunikasi non verbal. Sikap dan emosi individu dan kelompok dipelajari melalui bahasa; Pola aktivitas sosial itu sendiri memiliki aspek kreatif dan spontan.
Dari beberapa pokok pandangan atau asumsi teori interaksionis simbolik tersebut dapat diambil pemahaman bahwa sesuatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) sosial apabila: (a) sesuatu itu tidak didasarkan pada pandangan, motivasi, tujuan yang ada pada Diri, Jiwa dan Pikiran individu dari proses menangkap simbol-simbol dalam interaksi; dan (b) sesuatu itu hasil dari tekanan struktural (kekuatan eksternal) yang bersifat statis.
C. Sumber Masalah Sosial Dalam Pendekatan Individu dan Pendekatan Kelompok
Berdasarkan uraian masalah sosial ditinjau dari perspektif teoritik di atas, para ahli mengelompokkan tentang sumber masalah sosial kedalam dua sudut pandang atau pendekatan, yaitu: (1) pendekatan individu (faktor internal); dan (2) pendekatan sosial atau kelompok (faktor eksternal).
Pertama, pendekatan individu. Pendekatan ini lebih berorientasi pada teori interaksionis simbolik. Dalam pendekatan ini memandang bahwa sumber masalah sosial
(problem sosial) adalah disebabkan oleh kondisi internal individu yang ‘eror’ atau ‘menyimpang’. Kondisi individu yang menyimpang ini dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) kondisi individu menyimpang karena faktor biologis (fisik) yang mendorong untuk menyimpang; dan faktor mentalitas (kejiwaan) negatif yang mendorong periaku menyimpang; dan (b) kondisi individu menyimpang karena faktor sosialisasi sub budaya menyimpang. Misalnya lingkungan keluarga yang disintegratif; Kedua, pendekatan kelompok. Pendekatan ini lebih berorientasi pada teori fungsional struktural dan teori konflik. Pendekatan ini memandang bahwa sumber masalah sosial disebabkan oleh faktor: (a) desain perencanaan pembangunan tidak disusun baik, atau pelaksanaan pembangunan telah menyimpang dari perencanaan yang ada; (b) adanya kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat yang begitu besar; (c) terjadinya pemberontakan atau peperangan atau koflik politik dan militer (disintegrasi sosial-politik); (d) terjadinya bencana alam yang membawa kehancuran infrastruktur; dan (e) struktur kekuasaan negara yang bersifat absolut atau otoriterianisme atau berkembangnya sistem diskriminasi (Soetomo, 1995; Liliweri, A.. 2005).
D. Beragam Masalah Sosial Dalam Pembangunan
1. Masalah Kemiskinan
Dalam kajian sosiologi pembangunan, konsep kemiskinan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) kemiskinan absolut (a fixed yardstick). Konsep kemiskinan absolut ini dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang kongkit. Ukuran ini lazimnya berorientasi pada kebutuhan dasar dalam kehidupan sehari-hari, yaitu pangan, papan dan sandang. Besarnya ukuran setiap negara berbeda; (2) kemiskinan relatif (the idea of relative). Konsep kemiskinan relatif ini dirumuskan berdasarkan atau memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Asumsi ini, bahwa kemiskinan di daerah satu dengan daerah lain tidak sama, demikian juga antara waktu dulu dengan sekarang berbeda; (3) kemiskinan subjektif. Konsep kemiskinan sbjektif ini dirumuskan berdasarkan perasaan individu atau kelompok miskin. Kita menilai individu atau kelompok tertentu miskin, tetapi kelompok yang kita nilai menganggap bahwa dirinya bukan miskin, atau sebaliknya. Konsep kemiskinan ketiga inilah yang lebih tepat apabila memahami konsep kemiskinan dan bagaimana langkah strategis dalam menangani kemiskinan (Usman, S. 1998; Tjokrowinoto, W. 2004).
Secara sosiologis, kemiskian merupakan salah satu problem sosial yang paling serius dialami oleh negara-negara berkembang. Secara umum kajian tentang kemiskinan dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu: (1) perspektif kultural (cultural perspective); dan (2) perspektif struktural atau situasional (situational perspective). Kedua perspektif tersebut mempunyai asumsi, metode dan pendekatan yang berbeda dalam menganalisis tentang kemiskinan.
Pertama, perspektif kultural. Konsep kemiskinan dalam perspektif kultural dikelompokkan menjadi tiga tingkatan analisis, yaitu: (1) tingkatan individu, hal ini berarti kemiskinan karena mentalitas individu yang malas, apatis, fatalistik, pasrah, boros, dan tergantung (mentalitas negatif); (2) tingkatan keluarga, hal ini berarti kemiskinan karena jumlah anak dalam keluarga sangat besar, dengan pola budaya keluarga yang tidak produktif; dan (3) tingkatan masyarakat, hal ini berarti kemiskinan kerena tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi masyarakat secara efektif.
Kedua, perspektif struktural. Konsep kemiskinan dalam perspektif struktural adalah kemiskinan yang terjadi karena dampak dari faktor-faktor struktur masyarakat (faktor eksternal), yaitu terjadinya kemiskinan karena: (1) program atau perencanaan pembangunan yang tidak tepat; (2) pelaksanaan kekuasan pemerintahan (birokrasi pemerintah) yang korup; (3) kehidupan sosial-politik yang tidak demokratis atau otoriter; (4) sistem ekonomi liberalistik atau kapitalistik; (5) berkembangnya teknologi modern atau industrialisasi yang mekanistik disemua aspek; (6) kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat sangat tinggi; (7) globalisasi ekonomi dan pasar bebas. Jadi, menurut perspektif struktural kemiskinan itu terjadi karena faktor ekternal, sedangkan menurut perspektif kultural kemiskinan itu terjadi karena mentalitas individu atau kelompok (Usman, S. 1998; Tjokrowinoto, W. 2004).
Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan dalam menanggulangi kemiskinan antara lain: (1) menyusun perencanaan pembangunan yang tepat dan integral; (2) melaksanakan program pembangunan di segala bidang, yang berbasis kerakyatan; (3) meningkatkan kualitas layanan pendidikan secara maksimal sesuai dengan amanat UUD 1945; (4) reformasi birokrasi (transparansi, efisiensi dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya pembangunan); (5) menegakkan kepastian hukum dan berkeadilan; dan (6) meningkatkan peran serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan media massa dalam proses pembangunan (Dwipayana, Ari (Ed). 2003; Tjokrowinoto, W. 2004)
2. Masalah kenakalan remaja atau perilaku menyimpang remaja
Pengertian perilaku menyimpang (deviasi sosial) adalah semua bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang ada. Jadi, perilaku menyimpang remaja adalah semua bentuk perilaku remaja yang tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat (ooooo). Diantara bentuk atau macam-macam perilaku menyimpang remaja antara lain: (a) tawuran antar pelajar; (b) penyimpangan seksual meliputi homoseksual, lesbianisme, dan hubungan seksual sebelum nikah; (c) alkoholisme; (d) penyalahgunaan obat terlarang atau narkotika; (e) kebut-kebutan di jalan raya; (f) pencurian atau penipuan, dan bentuk-bentuk tindakan kriminalitas lainnya
Kenakalan remaja pada umumnya diawali dari munculnya gejala-gejala, antara lain: (1) sikap apatis terhadap kewajiban-kewajiban normatif yang melekat pada dirinya; (2) adanya kecenderungan sikap untuk suka mengganggu teman lainnya; (3) sikap kecewa yang berlebihan karena tidak terpenuhinya keingian tertentu; (4) kurang fokus atau perhatian terhadap suatu agenda kegiatan tertentu; (5) sikap takut yang berlebihan terhadap sesuatu yang dianggap merugikan dirinya; dan (6) ketidakmampuan untuk berperan dalam kelompok atau sikap ‘manja’ yang berlebihan (Sudarsono, 1995).
Bentuk penyimpangan perilaku remaja dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: (a) penyimpangan primer, yaitu penyimpangan yang sifatnya temporer, sementara, dan masyarakat masih bisa mentolerir; (b) penyimpangan sekunder, yaitu penyimpangan yang dapat merugikan atau mengancam keselamatan orang lain, misalnya tindakan kriminal; (c) penyimpangan kelompok, yaitu penyimpangan yang dilakukan secara kelompok, misalnya geng untuk berkelahi, narkotik; dan (d) penyimpangan individu, yaitu perilaku menyimpang yang dilakukan secara sendiri.
Faktor-faktor penyebab terbentuknya perilaku menyimpang remaja, antara lain: (a) ketidaksanggupan menyerap norma budaya; (b) adanya ikatan sosial yang berlainan dengan yang dimiliki; (c) akibat proses sosialisasi nilai-nilai subkebudayaan menyimpang; (d) akibat kegagalan dalam proses sosialisasi; (e) sikap mental yang tidak sehat; (f) keluarga yang broken home atau keluarga yang disintegrasi; (g) pelampiasan rasa kecewa yang berlebihan; (h) dorongan yang berlebihan untuk dipuji; (i) proses belajar yang menyimpang; (j) dorongan pemenuhan kebutuhan ekonomi yang salah; dan (k) pengaruh lingkungan dan media masa yang negatif (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984; Sudarsono, 1995).
Diantara langkah strategis untuk meminimalkan terjadinya kenakalan remaja antara lain: (1) menciptakan kehidupan rumah tangga yang beragama (menunjung tinggi nilai spiritual); (2) menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis (hubungan antara ayah, ibu dan anak terjalin dengan baik); (3) mewujudkan kesamaan nilai, norma yang dipegang antara ayah dan ibu dalam mendidik anak; (4) memberikan kasih sayang secara wajar atau proporsional (tidak memanjakan anak); (5) memberikan perhatian secara proporsional terhadap beragam kebutuhan anak; (6) memberikan pengawasan secara wajar atau proporsional terhadap pergaulan anak di lingkungan masyarakat atau teman bermainnya; dan (7) memberikan contoh tauladan yang terbaik pada anak, dan setiap pemberian layanan pada aak diarahkan pada upaya membentuk karakter atau mentalitas positif (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984; Wilis,S. 1994).
3. Masalah Lingkungan Hidup
Problem atau masalah lingkungan hidup harus menjadi perhatian yang sangat serius, karena persoalan lingkungan adalah: (a) menyangkut jaminan kualitas kelangsungan kehidupan generasi dimasa-masa yang akan datang; dan (2) kegagalan dalam menangani persoalan lingkungan akan membawa dampak negatif disemu sektor kehidupan, baik dalam level lokal, nasional dan bahkan dunia, misalnya: terjadinya bencana banjir, pemanasan global; tanah longsor dan sebagainya.
Proses pembangunan dan industrialisasi di negara-negara maju dan berkembang ternyata membawa dampak munculnya masalah pencemaran lingkungan, baik pencemaran tanah, pencemaran udara, pencemaran laut atau air. Meningkatnya pencemaran lingkungan tersebut secara langsung atau tidak langsung mendorong munculnya beragam problem kehidupan di berbagai aspek, misalnya: (1) tingkat kualitas kesehatan masyarakat semakin terancam; (2) kualitas kesuburan tanah dan ekosistem lingkungan fisik terancam; (3) kualitas air sebagai sumber kehidupan semakin tercemar; (4) terjadinya pencemaran udara, karena polusi industri, dan sebagainya.
Menurut Eitzen, dalam Soetomo (1995), ada beberapa faktor kekuatan sosial (perilaku manusia) yang menyebabkan terjadinya penceran dan ancaman kelestarian lingkungan, antara lain: (1) pertumbuhan penduduk yang pesat dan mengakibatkan meningkatnya permintaan akan makanan, energi dan beberapa kebutuhan lainnya; (2) konsentrasi penduduk di daerah perkotaan (urbanisasi) menyebabkan munculnya beragam limbah yang dapat merusak ekosistem; (3) proses pembangunan dan modernisasi yang meningkatkan pengunaan tekbologi modern yang bersifat konsumerisme dan mengabaikan keselamatan
lingkungan; dan (4) aktivitas dan mekanisme pasar, bekerja tanpa pertimbangan keselamatan atau kelestarian lingkungan hidup.
Ada beberapa langkah strategis dalam menangani masalah pencemaran lingkungan hidup, yaitu: (1) menerapkan sistem hukum secara tegas dan berkeadilan terhadap setiap pelaku penceramaran lingkungan; (2) melakukan gerakan perlawanan terhadap pencemaran lingkungan hidup pada semua lapiran masyarakat, misalnya gerakan reboisasi, menjalankan konservasi, dan melakukan daur ulang; (3) melakukan kontrol dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk; (4) melakukan inovasi teknologi, yaitu teknologi yang ramah lingkungan; (5) membudayakan gaya hidup masyarakat yang konsumeris dan mekanis (orientasi kekinian) berubah pada orientasi hidup pada kelangsungan generasi mendatang (orientasi masa depan); dan (6) mengembangkan pendidikan kelestarian lingkungan di setiap jenjang pendidikan (Soetomo, 1996, Usman, S. 1998)
4. Masalah Konflik SARA
Masalah konflik Suku, Agama, Ras dan Antar kelompok (SARA), bagi negara-negara berkembang yang multikultural (termasuk Indonesia) adalah problem yang sewaktu-waktu bisa muncul, dan dapat mengganggu kelancaran proses pembangunan. Oleh karena setiap desain pembangunan dan pelaksanaan pembangunan harus betul-betul meminimalkan terjadinya konflik SARA (Warnaen, S. 2002; Nugroho, F, (eds). 2004). Unsur-unsur konflik SARA adalah: (a) ada dua pihak atau lebih yang terlibat konflik; (b) ada tujuan yang menjadi sasaran konflik, dan tujuan tersebut sebagai sumber konflik; dan (c) ada perbedaan pikiran, perasaan dan tindakan untuk meraih tujuan yang saling memaksakan atau menghancurkan.
Ciri-ciri konflik SARA adalah: (a) bersifat alamiah; (b) anggota suku, agama, ras, antar kelompok yang terlibat konflik cenderung lebih terdorong untuk melakukan konflik berikutnya untuk kepentingan kelompoknya; (c) umumnya terjadi antara SARA mayoritas dengan minoritas; (d) sering diiringi dengan kekerasan yang berlangsung dalam ruang dan waktu tertentu; (e) mereka yang terlibat konflik merasa belum puas karena kebutuhan mereka belum terpenuhi; dan (f) konflik melibatkan dua kelompok kepentingan yang saling memperebutkan kebutuhan hidup (Suryadinata, L., dkk. 2003; ; Liliweri, A.. 2005).
Sumber-sumber konflik SARA, yaitu: (a) perbedaan orientasi nilai budaya dan masing-masing saling memaksakan kehendak; (b) tertutupnya pintu komunikasi antar masing-masing pihak sehingga tidak bisa saling memahami pola budaya; (c) kepemimpinan yang tidak efektif; pengambilan keputusan yang tidak adil; (d) ketidakcocokan peran-peran sosial, yang disertai dengan pemaksaan kehendak; (e) produktivitas masing-masing pihak rendah dalam kelompok, sehingga kebutuhan kelompok tidak terpenuhi; (f) terjadinya perubahan sosial budaya yang bersifat revolusioner, sehingga terjadi disintegrasi sosial-budaya; (g) karena latar belakang historis yang tidak baik; dan (h) kesenjangan sosial-ekonomi (Soetomo, 1995; Liliweri, A.. 2005).
Strategi penyelesaian konflik, antara lain: Pertama, melakukan manajemen konflik. Manajemen konflik adalah: “tindakan konstruktif yang direncanakan, diorganisasi, digerakkan dan dievaluasi secara teratur atas semua usaha demi mengakhiri konflik”. Ada delapan konsep dalam melakukan manajemen konflik, yaitu: (a) pengakuan diri bahwa dalam setiap masyarakat selalu ada konflik; (b) analisis situasi yang menyebabkan konflik; (c) analisis pola perilaku pihak-pihak yang terlibat konflik; (d) menentukan pendekatan konflik yang dapat dijadikan model penyelesaian; (e) membuka semua jalur-jalur komunikasi, baik langsung atau tidak langsung; (f) melakukan negoisasi atau perundingan dengan pihak-pihak yang terlibat konflik; (g) rumuskan beberapa anjuran, alternatif, konfirmasi relasi sampai tekanan; dan (h) hiduplah dengan penuh motivasi kerja dengan konflik. Semua konflik tidak mungkin dihilangkan sama sekali, yang bisa hanya diminimalkan.
Kedua, melakukan analisis konflik, yaitu melakukan penelitian tentang pola budaya antar etnik atau kelompok yang sedang konflik. Tujuan penelitian ini adalah: (a) akan dapat melacak sejarah etnik, karena sejarah budaya etnik sangat menentukan karakter etnik masing-masing; (b) menjelaskan faktor penyebab konflik antar etnik; (c) melakukan interpretasi terhadap konflik etnik dengan melihat sebab-sebabnya; (d) mengelaborasi nasionalisme etnik dan peranannya dalam eskalasi konflik sosial; dan (e) menggambarkan situasi khusus yang terjadi dalam kondisi kekinian dan meprediksi kondisi keakanan; Ketiga, melakukan pendidikan komunikasi lintas budaya. Diantara strategi pendidikan komunikasi lintas budaya adalah memberlakukan pendidikan multikultural yang terintegrasi pada setiap mata pelajaran di setiap satuan pendidikan. Inti pendidikan multikultural adalah, demokratisasi, humanisasi dan pluralis (Sutrisno, L. 2003; Suryadinata, L., dkk. 2003).
5. Masalah Kriminalitas
Kriminalitas atau tindakan kriminal merupakan problem sosial yang bersifat laten (selalu ada dalam kehidupan masyarakat atau negara manapun), namun tindakan kriminal bukanlah penyimpangan perilaku yang dibawa sejak lahir, tetapi tindakan kriminal merupakan hasil dari sosialisasi sub budaya menyimpang. Tindakan kriminal sering dikategorikan sebagai tindak pidana atau tindakan yang melanggar hukum pidana. Diantara contoh tindakan kriminal adalah: korupsi, pencurian, pembunuhan, perampokan, penipuan atau pemalsuan, penculikan, perkosaan, sindikat narkotik atau penyalahgunaan obat terlarang.
Hal-hal yang mendorong terjadinya perilaku menyimpang dalam bentuk tindakan kriminal antara lain: (1) terjadinya perubahan sosial, politik, ekonomi yang bersifat revolusi, misalnya terjadi peperangan; (2) terjadinya kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat yang begitu besar, sebagai akibat kesalahan strategi atau perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan; (3) adanya peluang atau kesempatan untuk terjadinya tindakan kriminal, karena alat-alat penegak hukum tidak tegas atau tidak ada kepastian hukum di masyarakat; (4) pemerintah yang lemah (tidak bersih) dan aparat pemerintah yang korup, atau banyak muncul penjahat kerah putih (white collar crime) di setiap departemen pemerintah atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga ekonomi; (5) meningkatnya jumlah penduduk yang tidak terkendali, sehingga jumlah pengangguran dan urbanisasi meningkat; (6) kondisi kehidupan keluarga yang disintegratif; dan (7) berkembangnya sikap mental negatif, misalnya: hedonistis, konsumersitis, suka menempuh jalan pintas dalam meraih tujuan dan sejenisnya (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984; Soetomo, 1995).
Pendekatan atau metode yang dapat ditempuh untuk mencegah terjadinya tindakan kriminal adalah: (a) metode preventif, yaitu cara pencegahan melalui pemberian informasi (penyuluhan), pendidikan, pelaksanaan program pembangunan yang benar; (b) metode represif, yaitu cara pencegahan melalui pemberian hukuman, penangkapan dan pemenjaraan sampai pada penembakan. Metode terbaik dalam menangani tindak kriminal adalah metode preventif (Wilis,S. 1994).
6. Masalah aksi protes, pergolakan daerah, dan pelanggaran HAM
Aksi protes, pergolakan daerah dan pelanggaran HAM, merupakan masalah sosial yang cukup kompleks, dan menuntut adanya perhatian khusus dalam pemecahannya. Telebih kondisi sosial budaya masyarakat yang multikultural, seperti di Indonesia. Hampir setiap hari terjadi aksi protes dan demonstrasi di daerah-daerah. Hal ini tentu dapat mengganggu proses perubahan atau pembangunan masyarakat.
Diantara sebab terjadinya aksi protes, pergolakan daerah dan pelanggaran HAM, antara lain: (1) terjadinya dominasi mayoritas kepada minoritas disertai dengan tindakan sewenang-wenang dalam berbagai aspek kehidupan; atau adanya pemaksaan kehendak antar kelompok di masyarakat; (2) terjadinya kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat yang sangat tinggi; (3) terjadinya perebutan antar kelompok di masyarakat tentang sumber-sumber mata pencaharian hidup; (4) adanya pemaksaan ideologi kelompok satu kepada kelompok lainnya (berkembangnya sikap eksklusifisme/ primordialisme); dan (5) adanya tradisi masa lalu sebagai warisan sejarah tentang konflik antar kelompok atau antar ethnik.
Ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan dalam proses pembangunan masyarakat Indonesia, untuk meminimalkan terjadinya aksi protes, demonstrasi, tindak kriminal, dan pelanggaran HAM, antara lain: (1) merumuskan pokok-pokok kebijakan pembangunan masyarakat, antara lain: (a) pembangunan harus memihak rakyat, dinamis-berkelanjutan, menyeluruh, terpadu dan terkoordinasikan; (b) pembangunan harus memanfaatkan secara baik sumber daya masyarakat dan meningkatan partisipasi peran masyarakatnya; (2) memprioritaskan pembangunan SDM, yaitu membangun ketaatan pada prinsip-prinsip moral (hukum) dan agama; sikap kesetiakawanan sosial; kreativitas;
produktivitas; pengembangan rasionalitas; dan kemampuan menegakkan kemandirian untuk berkarya; (3) program yang disusun di sektor pembangunan masyarakat, betul-betul memperhatikan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat, dengan memperhatikan skala prioritas dan kondisi lingkungan fisik serta sosio-budaya masyarakatnya; (4) proses pembangunan sosial, ekonomi dan politik masyarakat, harus lebih meningkatkan kearah otonomi daerah dan otonomi masyarakat yang lebih berkualitas; (5) proses pelaksanaan pembangunan masyarakat hendaknya dilakukan secara demokratis, transparansi dan akuntabel dalam pengelolaan keuangan; dan (6) karena basis ekonomi masyarakat Indonesia adalah pertanian, maka program pembangunan harus berbasis pada pembangunan teknologi pertanian di pedesaan (Usman, S., 1998; Dwipayana, Ari (Ed). 2003; Tjokrowinoto, 2004)
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, F.M. 1982. Modern Sociological Theory, An Introduction, Oxford University Press. Delhi.
Biesanz, J. and Biesanz, M. 1969. Introduction to Sociology, Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs. New Jersey.
Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984. Social Problems, Second edition. Harper & Row Publishers. New York.
Dwipayana, Ari (Ed). 2003. Membangun Good Governance di Desa, Institue for Research and Empowerment (IRE). Yogyakarta.
Green, A. W. 1972. Sociology. An Analysis of Life in Modern Society, Sixth Edition. Mc Graw-Hill Book Company New York.
Horton, P. and Hunt, C.L. 1984. Sociology, Sixth Edition. Mc. Graw-Hill Book Company. London.
Liliweri, A.. 2005. Prasangka dan Konflik. Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural. PT. LkiS. Yogyakarta.
Mack, R. and Pease, J. 1973. Sociolgy and Social Life, Fifth Edition. D.Van Nostrand Company. New York.
Nugroho, F, (eds). 2004. Konflik dan Kekerasan Pada Aras Lokal, Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Pola. J.B.A.F.Major. 1991. Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas. PT. Ichtiar Baru. Jakarta.
Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003. Modern Sociological Theory. Sixth edition. Alimandan (penerjemah). Teori Sosiologi Modern. 2004. Prenada Media. Jakarta.
Rose, A. M. 1965. Sociology, the Study of Human Relations, Second edition. Alfred Knopf. New York.
Soekanto, S., 2002. Pengantar Sosiologi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Soetomo, 1995. Masalah Sosial dan Pembangunan. Pustaka Jaya. Jakarta.
Sudarsono, 1995. Kenakalan Remaja. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta
Sunarto, K. 2000. Pengantar Sosiologi. LPFE- UI. Jakarta.
Suryadinata, L., dkk. 2003. Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama Dalam Era Perubahan Politik. (Terjemahan) LP3ES. Jakarta.
Sutrisno, L. 2003. Konflik Sosial, Studi Kasus Indonesia, Tajidu press. Yogyakarta.
Sztompka, P. 1993. The Sociology of Social Change, Alimandan (penerjemah). Sosiologi Perubahan Sosial. 2004. Prenada Media. Jakarta.
Tjokrowinoto, W. 2004. Pembangunan Dilema dan Tantangan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Usman, S. 1998. Pembangunan dan Pemberdayan Masyarakat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Warnaen, S. 2002. Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multietnis. Mata Bangsa. Jakarta.
Wilis,S. 1994. Problema Remaja dan Pemecahannya. Penerbit Angkasa. Bandung
Wilson, E.K. 1966. Sociology, Rules and Relationships, The Dorsey Press. Homewood, Illinois.
RIWAYAT HIDUP PENULIS: Arifin, lahir di Lamongan, tanggal 01 Januari 1960. Tamat Madrasah Ibtidaiyah 1973; Melanjutkan ke PGAP Paciran Lamongan lulus 1978. Pondok Pesantren Karangasem di Paciran Lamongan tahun 1973-1978; Melanjutkan ke PGAAN Malang lulus 1980; Lulus S1 IKIP Negeri Malang Prodi Sejarah-Antropologi 1984 (Yudisium Sangat Memuaskan); Lulus Pascasarjana (S2) Magister Sain Sosiologi Pedesaan dari UMM 2002 (Yudisium Cumlaude); Lulus Doktor (S3) Kekhususan Sosiologi Pedesaan dari Universitas Brawijaya Malang 2007-2008 (Yudisium Sangat Memuaskan). Profesi yang ditekuni sampai sekarang adalah sebagai pendidik (Guru Sosiologi SMA Islam Malang, sejak 1985- sekarang; Dosen Prodi Sejarah-Sosiologi IKIP Budi Utomo Malang sejak tahun 1987-sekarang; Dosen Luar Biasa di FISIP (Sosiologi) Universitas Brawijaya Malang sejak tahun 2004–2009; Dosen Pascasarjana (S2) Universitas Gresik sejak tahun 2008-sekarang. Pangkat fungsional Dosen Lektor Kepala, Pangkat PNS IV/b. (Pembina Tk.1) NIP: 19600101199403 1 009. Berbagai karya tulis berupa buku: (1) Sosiologi Untuk SMA; (2) Dasar-Dasar Logika dan Filsafat Ilmu; (3) Pengantar Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif; (4) Assessment dan Perencanaan Pendidikan; (5) Sistem Sosial Budaya Masyarakat Indonesia; dan (6) tiga belas Laporan Penelitian Mandiri; Sepuluh Artikel Ilmiah di Jurnal atau Majalah Pendidikan. Konsultan pendidikan dan research. Aktif sebagai penyaji makalah dalam seminar dan Diklat Regional maupun Nasional tentang pengembangan profesional guru. Aktif sebagai Pembina empat Kelompok Kajian Sosiologi Agama di Kota Malang. Semoga Tuhan memaafkan semua kesalahan penulis.
Sumber : Hasil Penataran Guru di Malang
INTERAKSI SOSIAL DAN
MASALAH-MASALAH SOSIAL
Makalah ini disajikan dalam Kegiatan Penataran Guru
Mata Pelajaran Sosiologi SMA Tingkat Nasional Pola
Dukung 120 @ 45 menit di PPPPTK P.Kn dan IPS Malang
Pada Tanggal 22 Juni s.d 5 Juli 2010
Oleh:
Dr. ARIFIN, M.Si.
( Guru Sosiologi SMA Islam dan
Dosen Sosiologi di FPISH IKIP Budi Utomo Malang )
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
DIREKTORAT JENDRAL PENINGKATAN MUTU
PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
PPPPTK P.Kn. DAN IPS MALANG
2010
KATA PENGANTAR
Berkat Rakhat Tuhan Yang Maha Segala-galanya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul ‘Interaksi Sosial dan Masalah-Masalah Sosial’, sesuai dengan rencana waktu yang ditentukan. Makalah ini disajikan pada kegiatan Penataran Guru Mata Pelajaran Sosiologi SMA Tingkat Nasional Pola Dukung 120 @ 45 menit, di PPPPTK P.Kn dan IPS Malang Pada Tanggal 22 Juni s.d 5 Juli 2010
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Kepala PPPPTK P.Kn dan IPS di Malang yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyajikan makalah atau pemateri pada kegiatan penataran Guru Mata Pelajaran Sosiologi SMA Tingkat Nasional pada tanggal 22 Juni s.d 5 Juli 2010.
Menurut para ahli, tidak ada satupun karya ilmiah yang mengkaji tentang fenomena kehidupan sosial budaya yang telah mencapai tingkat kesempurnaan analisis. Oleh karena itu perbedaan sudut pandang dan interpretasi tentang suatu fenomena sosial budaya adalah suatu ‘keniscayaan’, hal ini disebabkan oleh beragam faktor, yaitu adanya: (a) keberagaman orientasi filosofis; (b) keberagaman orientasi teoritik; (c) keberagaman fokus masalah dan pendekatan atau metode analisisnya; (d) keberagaman latar belakang disiplin keilmuan seseorang; dan (e) perbedaan kondisi waktu dan ruang (time and space) yang dialaminya.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa apa yang tersaji dalam makalah ini masih banyak sisi kekurangannya. Oleh karena itu beberapa konsep teoritik tentang ‘Interaksi sosial dan masalah-masalah sosial’ pada masyarakat Indonesia yang multicultural, yang belum diungkap dalam makalah ini dapat dijelaskan atau dikomunikasikan dalam proses diskusi pada saat penyajian makalah.
Akhirnya, semoga apa yang tersaji dalam makalah ini dapat memberikan manfaat bagi Bapak atau Ibu guru peserta penataran dalam rangka meningkatkan kualitas kompetensi profesionalnya selama mengemban amanat sebagai guru Sosiologi di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat. Aamiin.
Malang, Juni 2010
Penulis
DAFTAR ISI
- HALAMAN SAMPUL .................................................................................................... 01
- KATA PENGANTAR .................................................................................................... 02
- DAFTAR ISI ................................................................................................................. 03
I. INTERAKSI SOSIAL
A. Pengertian, Fungsi dan Tujuan Interaksi Sosial .................................................... 04
B. Syarat Terjadinya Interaksi Sosial ......................................... ............................... 05
C. Faktor-Faktor Yang Mendasari Proses Interaksi Sosial ........................................ 05
D.Tahap –Tahap Keteraturan Sosial Dalam Interaksi Sosial... ................................. 05
E. Proses Sosial Asosiattif dan Disosiatif ................................................................... 06
II. MASALAH (PROBLEM) SOSIAL
A. Pengertian Masalah (problem) Sosial .................................................................... 07
B. Masalah Sosial Dalam Perspektif Teoritis ............................................................. 07
C. Sumber Masalah Sosial Dalam Pendekatan Individu
Dan Pendekatan Kelompok .......……………………………………………………. 08
D. Beragam Masalah Sosial Dalam Pembangunan:
1. Masalah kemiskinan ....................................................................................... 09
2. Masalah kenakalan remaja ……………………………………………………. 10
3. Masalah lingkungan hidup ……………………………………………………... 10
4. Masalah konflik SARA …………………………………………………………. 11
5. Masalah kriminalitas ......................... .......……………………………………. 12
6. Masalah aksi protes,pergolakan daerah dan pelanggaran HAM ........……… 12
- DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 13
- RIWAYAT HIDUP PENULIS .......................................................................................... 13
I. INTERAKSI SOSIAL
A. Pengertian, Fungsi dan Tujuan Interaksi Sosial
1. Pengertian interaksi sosial
Interaksi sosial adalah ‘hubungan timbal balik antar individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok dalam proses-proses sosial di masyarakat’. Hubungan timbal balik tersebut disertai dengan adanya kontak sosial dan komunikasi. Oleh karena itu syarat utama terjadinya interaksi sosial adalah: (a) adanya kontak sosial antar kedua belah pihak; dan (b) adanya komunikasi sosial antara kedua belah pihak.
Sedangkan pengertian proses sosial adalah ‘proses interaksi antar aspek atau unsur sosial disepanjang aktivitas kehidupan manusia di masyarakat’. Wujud dari aktivitas proses sosial adalah kegiatan-kegiatan sosial individu dan kelompok dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka pemenuhan beragam kebutuhan hidupnya. Diantara konsep dasar dalam kajian tetang proses sosial adalah ‘interaksi sosial’. Oleh karena itu menurut para ahli, inti atau dasar dari proses-proses sosial di masyarakat adalah ‘interaksi sosial’ (Biesanz, J. and Biesanz, M. 1969; Soekanto, S, 2002). Proses-proses sosial dalam kehidupan di masyarakat bersifat dinamik, dan mendasarkan pada nilai, norma yang berlaku di masyarakat.
2. Fungsi interaksi sosial
Proses interaksi sosial yang bertentuk kerjasama atau kooperatif (asosiatif) mempunyai fungsi positif antara lain: (a) proses pencapaian tujuan hidup individu atau kelompok lebih mudah terwujud; (b) mendorong terwujudnya pola kehidupan individu atau kelompok secara integratif; (c) setiap individu dapat meningkatkan kualitas beragam peran sosial dalam kehidupan kelompok; (d) mendorong terbangunnya sikap mental positif pada setiap individu dalam proses-proses sosialnya; dan (e) mendorong lahirnya beragam inovasi di berbagai bidang menuju masyarakt madani (masyarakat beradab).
Dalam batas-batas tertentu, interaksi sosial dalam bentuk persaingan atau kompetisi (dissosiatif) mempunyai fungsi positif, antara lain: (a) menyalurkan keinginan-keinginan individu atau kelompok yang bersifat kompetitif; (b) sebagai media tersalurkannya keinginan, kepentingan serta nilai-nilai yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian secara baik oleh mereka yang bersaing; (c) merupakan alat untuk menempatkan individu pada status dan peran yang sesuai dengan kemampua/ keahliannya; dan (d) sebagai alat menjaring para individu atau kelompok yang akhirnya menghasilkan pembagian kerja yang efektif.
Demikian juga, dalam batas-batas tertentu, interaksi sosial dalam bentuk konflik (dissosiatif) mempunyai fungsi positif, yaitu: (a) dapat mendorong terjadinya perubahan pola perilaku seseorang atau kelompok ke arah yang lebih baik; (b) dapat mendorong terjadinya atau terbangunnya solidaritas ingroup dalam kehidupan kelompok; dan (c) dapat mendorong lahirnya karya demi karya yang lebih inovatif atau lebih maju (Wilson, E.K. 1966; Mack, R. and Pease, J. 1973).
3. Tujuan interaksi sosial
Interaksi sosial merupakan faktor paling kunci dalam proses-proses sosial. Diantara tujuan seseorang melakukan interaksi sosial antara lain: (a) untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan tertentu, baik yang bersifat individu atau kelompok; (b) untuk proses pemenuhan aneka kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial atau pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik; (c) untuk meningkatkan kualitas kompetensi diri dalam berbagai aspek kehidupan sosial di masyarakat; (d) untuk membangun solidaritas ingroup atau outgroup dalam kehidupan sosial di masyarakat; dan (e) dalam rangka mendapat masukan atau media evaluai diri atau refleksi diri tentag pola perilaku yang telah di lakukan dalam proses-proses sosial (Horton, P. and Hunt, C.L. 1984; Sunarto, K. 2000).
Dalam rangka mewujudkan tujuan interaksi sosial tersebut, maka setiap individu selama proses interaksi sosial harus berdasarkan kepada nilai, norma sosial yang berlaku dalam kelompoknya atau masyarakatnya. Nilai adalah ‘sesuatu yang diangungkan, dianggap baik, dan dijadikan sebagai pedoman berperiku’. Menurut Notonegoro ada tiga macam nilai, yaitu (1) nilai material (segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia); dan (2) nilai vital (segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas hidup); dan (3) Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian terdiri atas empat macam, yaitu: (a) Nilai kebenaran (kenyataan), yaitu nilai yang bersumber pada unsur akal manusia (rasio, budi, dan cipta); (b) Nilai keindahan, yaitu nilai yang bersumber pada unsur perasaan manusia (estetika); (c) Nilai moral (kebaikan), yaitu nilai yang bersumber pada unsur, kehendak, atau kemauan (karsa dan etika); dan (d) Nilai religius, yaitu nilai ketuhanan yang tertinggi, mutlak, dan abadi.Sedangkan norma adalah ‘seperangkat aturan (tertulis dan
tidak tertulis), yang mengatur pola kehidupan dan interaksi seseorang dalam rangka pemenuhan beragam kebutuhan hidup’.
Fungsi nilai dan norma bagi kehidupan bermasyarakat adalah: (1) menetapkan harga sosial seseorang dalam kelompok. Dengan nilai dapat menunjukkan seseorang berada pada pelapisan sosial tertentu di masyarakat; (2) membentuk cara berpikir dan berperilaku secara ideal dalam masyarakat; (3) nilai-norma dapat menjadi faktor penentu yang terakhir bagi manusia dalam menjalankan peranan sosial; (4) nilai-norma sebagai alat pengawas dan pengontrol serta daya ikat tertentu agar seseorang berbuat baik bagi kehidupan; (5) nilai-norma sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama; dan (6) nilai-norma menjadi abstraksi (gambaran) pola perilaku masyarakat (Rose, A. M.1965).
B. Syarat Terjadinya Interaksi Sosial
Ada dua syarat utama terjadinya interaksi sosial, yaitu: (1) adanya kontak sosial. Makna harfiah kontak sosial adalah ‘bersama-sama menyentuh’. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi sentuhan badaniah. Berdasarkan subjek pelakunya kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu: (a) kontak antara orang perorangan; (b) kontak ntara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya; dan (c) kontak antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya; dan (2) adanya komunikasi (communication), berasal dari bahasa Inggris ‘common’, artinya sama. Apabila kita berkomunikasi, berarti kita berusaha untuk menimbulkan sesuatu persamaan (commonnes) dalam hal pemahaman, penafsiran dan sikap dengan seseorang tentang sesuatu. Misalnya, kita bersama-sama mempelajari suatu ide atau cita-cita dengan seseorang. Ini berarti, bahwa kita mengemukakan sesuatu sikap (attitude) yang sama kepada seseorang yang kita ajak berkomunikasi tadi (Pola. J.B.A.F.Major. 1991; Soekanto S., 2002).
C. Faktor-Faktor Yang Mendasari Proses Interaksi Sosial
Faktor penting yang menjadi dasar proses berlangsungnya interaksi sosial adalah: (1) nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Apabila individu atau kelompok dalam proses interaksi sosialnya tidak mendasarkan pada nilai, norma yang berlaku, kehidupan sosial akan terjadi disintegrasi atau ketidakteraturan sosial; dan (2) status dan peranan sosial. Proses interaksi sosial yang dilakukan individu harus memperhatikan status dan peranan yang melekat pada dirinya, juga memperhatikan kewajiban dan hak-haknya.
Menurut para ahli, berlangsungnya proses interaksi sosial dipengaruhi oleh beberapa, antara lain: (1) faktor imitasi; (2) faktor sugesti; (3) faktor simpati; (4) faktor identifikasi; (5) faktor empati; dan (6) faktor motivasi. Keenam faktor tersebut selama proses interaksi sosial bisa terjadi secara sendiri (terpisah) dan juga bisa secara bersama-sama atau integratif.
Pertama, simpati, yaitu suatu proses psikhis di mana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan (aspek psikhis atau kejiwaaan) seseorang memegang peranan yang penting. Dorongan utamanya adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama atau mengikuti untuk melakukan suatu tindakan tertentu; Kedua, sugesti, yaitu dorongan untuk mengikuti atau menerima sikap orang lain tanpa proses pemikiran yang dalam untuk melakukan sesuatu tidakan. Berlangsungnya sugesti dapat terjadi, karena pihak yang menerima sedang mengalami ketidakstabilan pikiran yang dapat menghambat daya berpikir rasional dan akal sehat. Sugesti ini bisa juga sebagai kelanjuan lebih mendalam dari simpati.
Ketiga, imitasi, yaitu dorongan untuk meniru pola aktifitas orang lain. Faktor ini mempunyai peran penting dalam proses interaksi sosial. Segi positifnya adalah imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah dan nilai yang berlaku. Namun, imitasi dapat pula mengakibatkan hal yang negatif misalnya, meniru tindakan yang menyimpang. Selain itu imitasi juga dapat melemahkan atau mematikan pengembangan daya kreatifitas seseorang; Keempat, identifikasi, yaitu merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadikan sama (identik atau serupa) atau meniru untuk berperan atau bersikap sama dengan pihak lain. Identifikasi ini Iebih mendalam daripada imitasi, karena pola sikap seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.
Kelima, empati,yaitu mirip perasaan simpati, akan tetapi tidak semata-mata perasaan kejiwaan saja, melainkan diikuti dengan tindakan nyata secara positif. Empati dibarengi perasaan organisme tubuh yang sangat dalam. Contohnya kalau kita melihat sahabat dekat atau kerabat dekat mengalami kecelakaan, maka perasaan empati menempatkan kita seolah-olah ikut celaka, dan kita langsung melakukan tindakan nyata untuk menolongnya; Keenam, motivasi, yaitu dorongan, rangsangan, pengaruh atau stimulus yang diberikan seorang individu lainnya sedemikian rupa, sehingga orang yang diberi motivasi tersebut menuruti atau melaksanakan apa yang dimotivasikan secara kritis, rasional, dan penuh tanggung jawab (Biesanz, J. and Biesanz, M. 1969; Soekanto, S, 2002).
D.Tahap –Tahap Keteraturan Sosial Dalam Interaksi Sosial
Antara interaksi sosial dan keteratuan sosial mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan yang erat tersebut dapat dipahami dari asumsi sebagai berikut: (1) dalam interaksi sosial selalu terdapat kontak dan komunikasi, tujuan kontak dan komunikasi adalah
untuk mewujudkan keteraturan sosial (ketertiban hidup); (2) keteraturan sosial (ketertiban hidup) akan terwujud apabila proses interaksi berdasarkan pada nilai dan norma sosial yang berlaku; (3) nilai, norma sosial adalah sebagai alat kontrol sosial (pengendalian sosial) terhadap perilaku individu-kelompok untuk terujudnya keteraturan sosial. Jadi, keteraturan sosial itu mempunyai hubungan yang selaras dan serasi antara interaksi sosial, nilai sosial dan norma sosial.
Ditinjau dari segi prosesnya, terbentuknya keteraturan sosial dapat melalui empat tahap, yaitu: (1) tahap tertib sosial (social order), yaitu kondisi kehidupan kelompok yang aman, dinamis teratur, yang ditandai dengan masing-masing anggota kelompok menjalankan kewajiban dan memperoleh haknya dengan baik sesuai dengan status dan peranannya; (2) tahap order, yaitu mengakui dan mematuhi sistem nilai, norma yang berkembang dalam kelompok; (3) tahap keajegan, yaitu suatu kondisi keteraturan perilaku yang tetap (ajeg), terus menerus atau konsisten dalam kehidupan sehari-hari; dan (4) tahap berpola, yaitu corak hubungan (interaksi) yang konsisten, ajeg tersebut dijadikan sebagai model (dilembagakan) bagi semua anggota untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari dalam kelompok. Ketika proses interaksi sosial sudah memasuki tahap berpola, maka proses-proses sosial di masyarakat akan tercipta keteraturan sosial (Rose, A. M. 1965; Wilson, E.K. 1966).
E. Proses Sosial Asosiattif dan Disosiatif
Sosiolog Gillin and Gillin menyebutkan ada dua proses sosial yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu: (1) proses asosiatif atau bersekutu (processes of association); dan (2) proses disosiatif atau memisahkan (processes of dissociation). Proses asosiatif sering mengarah ke pola integrasi sosial, sedangkan proses disosiatif cenderung mengarah ke disintegrasi atau sering disebut proses oposisi (berjuang melawan pihak lain untuk mencapai tujuan) (Rose, A. M. 1965; Green, A. W. 1972).
Pertama, proses asosiatif. Proses sosial asosiatif mempunyai empat bentuk, yaitu: (1) kerjasama (cooperation), yaitu jalinan hubungan timbal balik yang didasarkan atas kesamaan tujuan, kepentingan, dan orientasi hidup. Berdasarkan pelaksanaannya, interaksi sosial dalam bentuk kerjasama dibedakan menjadi lima macam, yaitu: (a) kerukunan atau gotong royong; (b) bargaining, yaitu perjanjian kerjasama tentang pertukaran barang dan jasa; (c) kooptasi, yaitu kerjasama untuk saling menerima unsur-unsur baru dalam pelaksanaan politik organisasi agar tidak terjadi konflik organisasi; (d) koalisi, yaitu kerjasama antara dua atau lebih organisasi yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama; (e) join-venture, yaitu kerjasama dalam pengadaan proyek tertentu yang berbasis ekonomi; (2) akomodasi (accomodation). Dalam proses sosial, akomodasi punya makna dua, yaitu: (a) sebagai keadaan, yang berarti akomodasi adalah suatu keseimbangan interaksi antar individu/ kelompok berdasarkan nilai dan norma kelompok; (b) sebagi proses, yang berarti akomodasi bermakna usaha manusia untuk meredakan dua pihak yang sedang konflik. Akomodasi sebagai proses, mempunyai beberapa bentuk, yaitu: (a) koersi, yaitu akomodasi yang prosesnya melalui pemaksaan; (b) kompromi, yaitu akomodasi yang ditandai oleh masing-masing pihak mengurangi tuntutannya agar ada penyelesaian; (c) arbitrasi, yaitu akomodasi yang menggunakan pihak ketiga, dan pihak ketiga ditentukan oleh badan yang berwenang; (d) mediasi, yaitu mirip dengan arbitrasi, hanya pihak ketiganya netral; (e) konsiliasi, yaitu akomodasi yang menggunakan cara mempertemukan keinginan yang bertikai untuk dibuat kesepakatan; (f) toleransi, akomodasi yang didasarkan atas sikap saling memaklumi; (g) stalemit, yaitu masing-masing pihak mempunyai kekuatan yang seimbang; (h) ajudifikasi, yaitu akomodasi melalui proses pengadilan, dsb. (3) akulturasi, yaitu proses pembauran dua unsur budaya yang berbeda sehingga menghasilkan budaya baru, tetapi tidak menghilangkan unsur aslinya; (4) asimilasi, yaitu proses pembauran dua unsur budaya sehingga menghasilkan budaya baru, yang unsur budaya aslinya mulai hilang.
Kedua, proses disosiatif. Proses sosial disosiatif mempunyai tiga bentuk, yaitu: (1) persaingan (competition), yaitu perjuang individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu, tanpa merugikan pihak lain. Ada dua tipe persaingan, yaitu persaingan individu dn persaingan kelompok; (2) kontravensi (contravention), yaitu suatu bentuk proses sosial antara persaingan dengan konflik. Cirinya adalah: (a) masing-masing mersa saling tidak puas; (b) masing-masing pihak saling memendam perasaan kecewa, ragu dan benci. Istilah sehari-hari tentang kontravensi adalah ‘perang dingin’; (3) konflik, yaitu suatu perjuangan individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dengan jalan menentang atau menyakiti atau
merugikan pihak lain. Macam-macam konflik antara lain konflik, agama, ras, suku, politik, ekonomi, antar kelas, konflik internasional dan sebagainya (Sunarto, K. 2000; Soekanto, S., 2002).
.
II. MASALAH-MASALAH SOSIAL
A. Pengertian Masalah (Problem) Sosial
Masalah sosial dalam perspektif sosiologis sering disebut sebagai problem sosial (social problems) (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984). Masalah sosial merupakan suatu gejala (fenomena) sosial yang mempunyai dimensi atau aspek kajian yang sangat luas atau kompleks, dan dapat ditinjau dari berbagai perspektif (sudut pandang atau teori). Oleh karena itu banyak dijumpai beragam pengertian atau definisi tentang masalah sosial (social problems) yang dikemukakan oleh para ahli. Dari beragam pengertian tentang masalah sosial, dapat disimpulkan bahwa suatu fenomena atau gejala kehidupan dikatakan sebagai masalah sosial (social problems) adalah apabila: (1) sesuatu yang dilakukan seseorang itu telah melanggar atau tidak sesuai dengan nilai-norma yang dijunjung tinggi oleh kelompok; (2) sesuatu yang dilakukan individu atau kelompok itu telah menyebabkan terjadinya disintegrasi kehidupan dalam kelompok; dan (3) sesuatu yang dilakukan inidividu atau kelompok itu telah memunculkan kegelisahan, ketidakbahagiaan individu lain dalam kelompok (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984).
Karena studi masalah sosial itu begitu kompleks, maka analisis tentang suatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) juga dapat diinjau dari beragam perspektif (beragam teori), misalnya sesuatu dikatakan problem menurut teori fungsional struktural akan berbeda dengan menurut teori konflik, atau teori interaksionis simbolik, atau teori integrasi (dalam kajian berikut akan disinggung masing-masing teori). Menurut Parrilo dalam Soetomo (1995), untuk dapat memahami pengertian masalah sosial perlu diperhatikan empat hal, yaitu: (1) masalah itu bertahan untuk suatu periode waktu tertentu; (2) dirasakan dapat menyebabkan beragam kerugian secara fisik dan non fisik pada individu dan kelompok; (3) merupakan pelanggaran terhadap nilai atau standar sosial atau sendi-sendi kehidupan masyarakat; dan (4) menuntut adanya usaha untuk dicarai pemecahannya.
B. Masalah Sosial Dalam Perspektif Teoritis
Dalam perspektif sosiologi, dijumpai berpuluh-puluh teori yang digunakan untuk memahami fenomena sosial. Berikut ini hanya dikemukakan empat teori dalam mencermati atau memahami tentang fenomena sosial, yaitu; (1) teori fungsional struktural; (2) teori konflik; dan (3) teori interaksionis simbolik. Karena keterbatasan ruang/tempat maka pandangan keempat teori tersebut dalam makalah ini hanya dijelaskan konsep-konsep dasarnya saja, dan diharapkan para pembaca bisa mendalami lebih lanjut pada pustaka yang menjadi rujukan kajian ini.
Pertama, teori fungsional struktural. Ada beragam versi teori fungsional struktural. Berikut ini dikemukakan pandangan teori fungsional struktural versi Parsons dalam memahami fenomena sosial, antara lain: (1) konsep kultur, dipandang sebagai sistem simbol yang terpola, teratur yang menjadi orientasi para individu untuk bertindak, berpribadi, bersosialisasi dalam sistem sosial. Jadi, kultur akan menjadi faktor eksternal untuk menekan pola tindakan individu dalam kelompok; (2) konsep sistem. Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung. Sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan hidup dalam kelompok (integrasi sosial). Sistem bergerak dalam proses perubahan yang teratur (evolusi); (3) konsep integrasi. Persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi sosial di dalam sistem sosial adalah proses internalisasi dan sosialisasi. Dalam proses sosialisasi, nilai dan norma diinternalisasikan (norma dan nilai menjadi bagian dari ‘kesadaran’ aktor), sehingga aktor mengabdi pada kepentingan sistem sebagai suatu kesatuan. Individu atau aktor biasanya menjadi penerima pasif dalam proses sosialisasi; dan (4) konsep perubahan,sosial. Teori ini memandang bahwa: (a) proses perubahan yang terjadi akan mengarah pada keseimbangan (equilibrium) dalam sistem sosial, apabila ada konflik internal, perlu dicari upaya-upaya untuk tetap terjaga keseimbangan dalam sistem; (b) perubahan evolusi masyarakat adalah mengarah kepada ‘peningkatan kemampuan adaptasi’, menuju keseimbangan hidup; dan (c) apabila terjadi perubahan struktural, maka akan terjadi perubahan dalam kultur normatif sistem sosial bersangkutan (perubahan sistem nilai-nilai terpenting) (Sztompka, P. 1993; Ritzer dan Goodman, 2003). Masih banyak ciri pandangan teori fungsional struktural yang dikemukakan para teoritisi fungsional struktural.
Dari beberapa pokok pandangan atau asumsi teori fungsional struktural tersebut dapat diambil pemahaman bahwa sesuatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) sosial apabila: (a) sesuatu itu bertentangan dengan budaya sebagai sistem simbol yang dijadikan sebagai orientasi untuk berpola perilaku; (b) sesuatu itu menyebabkan terjadinya disintegrasi atau memudarkan jalinan antar unsur dalam suatu sistem; (c) perubahan sosial yang terjadi bersifat revolusioner akan menghasilkan ketidakseimbangan dalam sistem sosial.
Kedua, teori konflik. Ada banyak versi teori konflik, berikut ini hanya dikemukakan teori konflik versi Dahrendorf. Beberapa konsep dasar pandangan teori konflik Dahrendorf dalam memahami fenomena sosial, antara lain: (1) setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan. Berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan. Apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di lapisan atas; (2) teori konflik menekankan peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat; (3) bahwa masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsensus Bahwa masyarakat tidak ada tanpa konsensus dan konflik, keduanya menjadi persyaratan satu sama lain. Kita tak akan punya konflik kecuali ada konsensus sebelumnya, sebaliknya konflik dapat menimbulkan konsensus dan integrasi; (4) ‘bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis. Bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas yang beragam. Otoritas tidak terletak di dalam individu, tetapi melekat pada posisi. Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam analisis fenomena sosial; (5) otoritas individu ini tunduk pada kontrol yang ditentukan masyarakat. Karena otoritas adalah absah, sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang; (6) masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas; (7) hubungan konflik dengan perubahan adalah bahwa konflik merupakan realitas sosial, dan konflik berfungsi sebagai penyebab terjadinya perubahan dan perkembangan (konflik yang hebat akan membawa perubahan dalam struktur sosial) (Abraham, F.M. 1982; Ritzer dan Goodman, 2003)..Masih banak cirri teori konflik Karl Marx, dan teori neokonflik.
Dari beberapa pokok pandangan atau asumsi teori konflik tersebut dapat diambil pemahaman bahwa sesuatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) sosial apabila: (a) sesuatu itu tidak sesuai dengan kebijakan otoritas penguasa yang berfungsi untuk mempertahankan ketertiban masyarakat; (b) otoritas aktor (individu) tidak tunduk pada kontrol yang ditentukan oleh masyarakat; dan (c) perubahan sosial yang terjadi bersifat evolusi, sehingga kurang menciptakan dinamika kehidupan sosial.
Ketiga, teori interaksionis simbolik. Beberapa konsep dasar pandangan teori interaksionis simbolik H.Mead dalam memahami fenomena sosial atau tindakan individu, antara lain: (1) konsep realitas sosial. Realitas sosial yang sejati itu tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika manusia bertindak ‘di dan terhadap’ dunia. Apa yang nyata bagi manusia tergantung pada definisi atau interpretasi atau pandangan individu itu sendiri; (2) konsep pandangan tentang ‘individu’. Bahwa Individu merespons suatu situasi simbolik. Individu merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (tindakan sosial) berdasarkan makna yang terkandung dalam objek tersebut. Ketika individu menghadapi situasi, responnya bukan bersifat mekanis, tidak juga ditentukan oleh objek itu (eksternal seperti pandangan teori fungsional struktural dan teori konflik), melainkan ditentukan oleh ‘Diri, Jiwa, Pikiran’ individu dalam menginterpretasikan atau mendefinisikan situasi, dan diri, jiwa, pikiran sifatnya dinamik; dan (3) konsep pandangan tentang masyarakat. Bahwa masyarakat sebagai suatu organisasi interaksi, tergantung pada pikiran individu. Masyarakat juga tergantung pada kapasitas diri individu. Dengan demikan masyarakat secara terus menerus akan terjadi perubahan, karena pikiran individu terus berubah melalui interaksi simbolik (Abraham, F.M. 1982; Ritzer dan Goodman, 2003).
Jadi, individu adalah rasional dan produk dari hubungan sosial (interaksi sosial); Masyarakat adalah dinamis dan berevolusi, menyediakan perubahan dan sosialisasi yang baru dari individu; Realitas sosial adalah bersifat individu dan sosial yang dinamik; Interaksi sosial meliputi pikiran, bahasa dan kesadaran akan diri sendiri; Interaksi sosial mengarah pada komunikasi non verbal. Sikap dan emosi individu dan kelompok dipelajari melalui bahasa; Pola aktivitas sosial itu sendiri memiliki aspek kreatif dan spontan.
Dari beberapa pokok pandangan atau asumsi teori interaksionis simbolik tersebut dapat diambil pemahaman bahwa sesuatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) sosial apabila: (a) sesuatu itu tidak didasarkan pada pandangan, motivasi, tujuan yang ada pada Diri, Jiwa dan Pikiran individu dari proses menangkap simbol-simbol dalam interaksi; dan (b) sesuatu itu hasil dari tekanan struktural (kekuatan eksternal) yang bersifat statis.
C. Sumber Masalah Sosial Dalam Pendekatan Individu dan Pendekatan Kelompok
Berdasarkan uraian masalah sosial ditinjau dari perspektif teoritik di atas, para ahli mengelompokkan tentang sumber masalah sosial kedalam dua sudut pandang atau pendekatan, yaitu: (1) pendekatan individu (faktor internal); dan (2) pendekatan sosial atau kelompok (faktor eksternal).
Pertama, pendekatan individu. Pendekatan ini lebih berorientasi pada teori interaksionis simbolik. Dalam pendekatan ini memandang bahwa sumber masalah sosial
(problem sosial) adalah disebabkan oleh kondisi internal individu yang ‘eror’ atau ‘menyimpang’. Kondisi individu yang menyimpang ini dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) kondisi individu menyimpang karena faktor biologis (fisik) yang mendorong untuk menyimpang; dan faktor mentalitas (kejiwaan) negatif yang mendorong periaku menyimpang; dan (b) kondisi individu menyimpang karena faktor sosialisasi sub budaya menyimpang. Misalnya lingkungan keluarga yang disintegratif; Kedua, pendekatan kelompok. Pendekatan ini lebih berorientasi pada teori fungsional struktural dan teori konflik. Pendekatan ini memandang bahwa sumber masalah sosial disebabkan oleh faktor: (a) desain perencanaan pembangunan tidak disusun baik, atau pelaksanaan pembangunan telah menyimpang dari perencanaan yang ada; (b) adanya kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat yang begitu besar; (c) terjadinya pemberontakan atau peperangan atau koflik politik dan militer (disintegrasi sosial-politik); (d) terjadinya bencana alam yang membawa kehancuran infrastruktur; dan (e) struktur kekuasaan negara yang bersifat absolut atau otoriterianisme atau berkembangnya sistem diskriminasi (Soetomo, 1995; Liliweri, A.. 2005).
D. Beragam Masalah Sosial Dalam Pembangunan
1. Masalah Kemiskinan
Dalam kajian sosiologi pembangunan, konsep kemiskinan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) kemiskinan absolut (a fixed yardstick). Konsep kemiskinan absolut ini dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang kongkit. Ukuran ini lazimnya berorientasi pada kebutuhan dasar dalam kehidupan sehari-hari, yaitu pangan, papan dan sandang. Besarnya ukuran setiap negara berbeda; (2) kemiskinan relatif (the idea of relative). Konsep kemiskinan relatif ini dirumuskan berdasarkan atau memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Asumsi ini, bahwa kemiskinan di daerah satu dengan daerah lain tidak sama, demikian juga antara waktu dulu dengan sekarang berbeda; (3) kemiskinan subjektif. Konsep kemiskinan sbjektif ini dirumuskan berdasarkan perasaan individu atau kelompok miskin. Kita menilai individu atau kelompok tertentu miskin, tetapi kelompok yang kita nilai menganggap bahwa dirinya bukan miskin, atau sebaliknya. Konsep kemiskinan ketiga inilah yang lebih tepat apabila memahami konsep kemiskinan dan bagaimana langkah strategis dalam menangani kemiskinan (Usman, S. 1998; Tjokrowinoto, W. 2004).
Secara sosiologis, kemiskian merupakan salah satu problem sosial yang paling serius dialami oleh negara-negara berkembang. Secara umum kajian tentang kemiskinan dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu: (1) perspektif kultural (cultural perspective); dan (2) perspektif struktural atau situasional (situational perspective). Kedua perspektif tersebut mempunyai asumsi, metode dan pendekatan yang berbeda dalam menganalisis tentang kemiskinan.
Pertama, perspektif kultural. Konsep kemiskinan dalam perspektif kultural dikelompokkan menjadi tiga tingkatan analisis, yaitu: (1) tingkatan individu, hal ini berarti kemiskinan karena mentalitas individu yang malas, apatis, fatalistik, pasrah, boros, dan tergantung (mentalitas negatif); (2) tingkatan keluarga, hal ini berarti kemiskinan karena jumlah anak dalam keluarga sangat besar, dengan pola budaya keluarga yang tidak produktif; dan (3) tingkatan masyarakat, hal ini berarti kemiskinan kerena tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi masyarakat secara efektif.
Kedua, perspektif struktural. Konsep kemiskinan dalam perspektif struktural adalah kemiskinan yang terjadi karena dampak dari faktor-faktor struktur masyarakat (faktor eksternal), yaitu terjadinya kemiskinan karena: (1) program atau perencanaan pembangunan yang tidak tepat; (2) pelaksanaan kekuasan pemerintahan (birokrasi pemerintah) yang korup; (3) kehidupan sosial-politik yang tidak demokratis atau otoriter; (4) sistem ekonomi liberalistik atau kapitalistik; (5) berkembangnya teknologi modern atau industrialisasi yang mekanistik disemua aspek; (6) kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat sangat tinggi; (7) globalisasi ekonomi dan pasar bebas. Jadi, menurut perspektif struktural kemiskinan itu terjadi karena faktor ekternal, sedangkan menurut perspektif kultural kemiskinan itu terjadi karena mentalitas individu atau kelompok (Usman, S. 1998; Tjokrowinoto, W. 2004).
Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan dalam menanggulangi kemiskinan antara lain: (1) menyusun perencanaan pembangunan yang tepat dan integral; (2) melaksanakan program pembangunan di segala bidang, yang berbasis kerakyatan; (3) meningkatkan kualitas layanan pendidikan secara maksimal sesuai dengan amanat UUD 1945; (4) reformasi birokrasi (transparansi, efisiensi dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya pembangunan); (5) menegakkan kepastian hukum dan berkeadilan; dan (6) meningkatkan peran serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan media massa dalam proses pembangunan (Dwipayana, Ari (Ed). 2003; Tjokrowinoto, W. 2004)
2. Masalah kenakalan remaja atau perilaku menyimpang remaja
Pengertian perilaku menyimpang (deviasi sosial) adalah semua bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang ada. Jadi, perilaku menyimpang remaja adalah semua bentuk perilaku remaja yang tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat (ooooo). Diantara bentuk atau macam-macam perilaku menyimpang remaja antara lain: (a) tawuran antar pelajar; (b) penyimpangan seksual meliputi homoseksual, lesbianisme, dan hubungan seksual sebelum nikah; (c) alkoholisme; (d) penyalahgunaan obat terlarang atau narkotika; (e) kebut-kebutan di jalan raya; (f) pencurian atau penipuan, dan bentuk-bentuk tindakan kriminalitas lainnya
Kenakalan remaja pada umumnya diawali dari munculnya gejala-gejala, antara lain: (1) sikap apatis terhadap kewajiban-kewajiban normatif yang melekat pada dirinya; (2) adanya kecenderungan sikap untuk suka mengganggu teman lainnya; (3) sikap kecewa yang berlebihan karena tidak terpenuhinya keingian tertentu; (4) kurang fokus atau perhatian terhadap suatu agenda kegiatan tertentu; (5) sikap takut yang berlebihan terhadap sesuatu yang dianggap merugikan dirinya; dan (6) ketidakmampuan untuk berperan dalam kelompok atau sikap ‘manja’ yang berlebihan (Sudarsono, 1995).
Bentuk penyimpangan perilaku remaja dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: (a) penyimpangan primer, yaitu penyimpangan yang sifatnya temporer, sementara, dan masyarakat masih bisa mentolerir; (b) penyimpangan sekunder, yaitu penyimpangan yang dapat merugikan atau mengancam keselamatan orang lain, misalnya tindakan kriminal; (c) penyimpangan kelompok, yaitu penyimpangan yang dilakukan secara kelompok, misalnya geng untuk berkelahi, narkotik; dan (d) penyimpangan individu, yaitu perilaku menyimpang yang dilakukan secara sendiri.
Faktor-faktor penyebab terbentuknya perilaku menyimpang remaja, antara lain: (a) ketidaksanggupan menyerap norma budaya; (b) adanya ikatan sosial yang berlainan dengan yang dimiliki; (c) akibat proses sosialisasi nilai-nilai subkebudayaan menyimpang; (d) akibat kegagalan dalam proses sosialisasi; (e) sikap mental yang tidak sehat; (f) keluarga yang broken home atau keluarga yang disintegrasi; (g) pelampiasan rasa kecewa yang berlebihan; (h) dorongan yang berlebihan untuk dipuji; (i) proses belajar yang menyimpang; (j) dorongan pemenuhan kebutuhan ekonomi yang salah; dan (k) pengaruh lingkungan dan media masa yang negatif (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984; Sudarsono, 1995).
Diantara langkah strategis untuk meminimalkan terjadinya kenakalan remaja antara lain: (1) menciptakan kehidupan rumah tangga yang beragama (menunjung tinggi nilai spiritual); (2) menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis (hubungan antara ayah, ibu dan anak terjalin dengan baik); (3) mewujudkan kesamaan nilai, norma yang dipegang antara ayah dan ibu dalam mendidik anak; (4) memberikan kasih sayang secara wajar atau proporsional (tidak memanjakan anak); (5) memberikan perhatian secara proporsional terhadap beragam kebutuhan anak; (6) memberikan pengawasan secara wajar atau proporsional terhadap pergaulan anak di lingkungan masyarakat atau teman bermainnya; dan (7) memberikan contoh tauladan yang terbaik pada anak, dan setiap pemberian layanan pada aak diarahkan pada upaya membentuk karakter atau mentalitas positif (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984; Wilis,S. 1994).
3. Masalah Lingkungan Hidup
Problem atau masalah lingkungan hidup harus menjadi perhatian yang sangat serius, karena persoalan lingkungan adalah: (a) menyangkut jaminan kualitas kelangsungan kehidupan generasi dimasa-masa yang akan datang; dan (2) kegagalan dalam menangani persoalan lingkungan akan membawa dampak negatif disemu sektor kehidupan, baik dalam level lokal, nasional dan bahkan dunia, misalnya: terjadinya bencana banjir, pemanasan global; tanah longsor dan sebagainya.
Proses pembangunan dan industrialisasi di negara-negara maju dan berkembang ternyata membawa dampak munculnya masalah pencemaran lingkungan, baik pencemaran tanah, pencemaran udara, pencemaran laut atau air. Meningkatnya pencemaran lingkungan tersebut secara langsung atau tidak langsung mendorong munculnya beragam problem kehidupan di berbagai aspek, misalnya: (1) tingkat kualitas kesehatan masyarakat semakin terancam; (2) kualitas kesuburan tanah dan ekosistem lingkungan fisik terancam; (3) kualitas air sebagai sumber kehidupan semakin tercemar; (4) terjadinya pencemaran udara, karena polusi industri, dan sebagainya.
Menurut Eitzen, dalam Soetomo (1995), ada beberapa faktor kekuatan sosial (perilaku manusia) yang menyebabkan terjadinya penceran dan ancaman kelestarian lingkungan, antara lain: (1) pertumbuhan penduduk yang pesat dan mengakibatkan meningkatnya permintaan akan makanan, energi dan beberapa kebutuhan lainnya; (2) konsentrasi penduduk di daerah perkotaan (urbanisasi) menyebabkan munculnya beragam limbah yang dapat merusak ekosistem; (3) proses pembangunan dan modernisasi yang meningkatkan pengunaan tekbologi modern yang bersifat konsumerisme dan mengabaikan keselamatan
lingkungan; dan (4) aktivitas dan mekanisme pasar, bekerja tanpa pertimbangan keselamatan atau kelestarian lingkungan hidup.
Ada beberapa langkah strategis dalam menangani masalah pencemaran lingkungan hidup, yaitu: (1) menerapkan sistem hukum secara tegas dan berkeadilan terhadap setiap pelaku penceramaran lingkungan; (2) melakukan gerakan perlawanan terhadap pencemaran lingkungan hidup pada semua lapiran masyarakat, misalnya gerakan reboisasi, menjalankan konservasi, dan melakukan daur ulang; (3) melakukan kontrol dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk; (4) melakukan inovasi teknologi, yaitu teknologi yang ramah lingkungan; (5) membudayakan gaya hidup masyarakat yang konsumeris dan mekanis (orientasi kekinian) berubah pada orientasi hidup pada kelangsungan generasi mendatang (orientasi masa depan); dan (6) mengembangkan pendidikan kelestarian lingkungan di setiap jenjang pendidikan (Soetomo, 1996, Usman, S. 1998)
4. Masalah Konflik SARA
Masalah konflik Suku, Agama, Ras dan Antar kelompok (SARA), bagi negara-negara berkembang yang multikultural (termasuk Indonesia) adalah problem yang sewaktu-waktu bisa muncul, dan dapat mengganggu kelancaran proses pembangunan. Oleh karena setiap desain pembangunan dan pelaksanaan pembangunan harus betul-betul meminimalkan terjadinya konflik SARA (Warnaen, S. 2002; Nugroho, F, (eds). 2004). Unsur-unsur konflik SARA adalah: (a) ada dua pihak atau lebih yang terlibat konflik; (b) ada tujuan yang menjadi sasaran konflik, dan tujuan tersebut sebagai sumber konflik; dan (c) ada perbedaan pikiran, perasaan dan tindakan untuk meraih tujuan yang saling memaksakan atau menghancurkan.
Ciri-ciri konflik SARA adalah: (a) bersifat alamiah; (b) anggota suku, agama, ras, antar kelompok yang terlibat konflik cenderung lebih terdorong untuk melakukan konflik berikutnya untuk kepentingan kelompoknya; (c) umumnya terjadi antara SARA mayoritas dengan minoritas; (d) sering diiringi dengan kekerasan yang berlangsung dalam ruang dan waktu tertentu; (e) mereka yang terlibat konflik merasa belum puas karena kebutuhan mereka belum terpenuhi; dan (f) konflik melibatkan dua kelompok kepentingan yang saling memperebutkan kebutuhan hidup (Suryadinata, L., dkk. 2003; ; Liliweri, A.. 2005).
Sumber-sumber konflik SARA, yaitu: (a) perbedaan orientasi nilai budaya dan masing-masing saling memaksakan kehendak; (b) tertutupnya pintu komunikasi antar masing-masing pihak sehingga tidak bisa saling memahami pola budaya; (c) kepemimpinan yang tidak efektif; pengambilan keputusan yang tidak adil; (d) ketidakcocokan peran-peran sosial, yang disertai dengan pemaksaan kehendak; (e) produktivitas masing-masing pihak rendah dalam kelompok, sehingga kebutuhan kelompok tidak terpenuhi; (f) terjadinya perubahan sosial budaya yang bersifat revolusioner, sehingga terjadi disintegrasi sosial-budaya; (g) karena latar belakang historis yang tidak baik; dan (h) kesenjangan sosial-ekonomi (Soetomo, 1995; Liliweri, A.. 2005).
Strategi penyelesaian konflik, antara lain: Pertama, melakukan manajemen konflik. Manajemen konflik adalah: “tindakan konstruktif yang direncanakan, diorganisasi, digerakkan dan dievaluasi secara teratur atas semua usaha demi mengakhiri konflik”. Ada delapan konsep dalam melakukan manajemen konflik, yaitu: (a) pengakuan diri bahwa dalam setiap masyarakat selalu ada konflik; (b) analisis situasi yang menyebabkan konflik; (c) analisis pola perilaku pihak-pihak yang terlibat konflik; (d) menentukan pendekatan konflik yang dapat dijadikan model penyelesaian; (e) membuka semua jalur-jalur komunikasi, baik langsung atau tidak langsung; (f) melakukan negoisasi atau perundingan dengan pihak-pihak yang terlibat konflik; (g) rumuskan beberapa anjuran, alternatif, konfirmasi relasi sampai tekanan; dan (h) hiduplah dengan penuh motivasi kerja dengan konflik. Semua konflik tidak mungkin dihilangkan sama sekali, yang bisa hanya diminimalkan.
Kedua, melakukan analisis konflik, yaitu melakukan penelitian tentang pola budaya antar etnik atau kelompok yang sedang konflik. Tujuan penelitian ini adalah: (a) akan dapat melacak sejarah etnik, karena sejarah budaya etnik sangat menentukan karakter etnik masing-masing; (b) menjelaskan faktor penyebab konflik antar etnik; (c) melakukan interpretasi terhadap konflik etnik dengan melihat sebab-sebabnya; (d) mengelaborasi nasionalisme etnik dan peranannya dalam eskalasi konflik sosial; dan (e) menggambarkan situasi khusus yang terjadi dalam kondisi kekinian dan meprediksi kondisi keakanan; Ketiga, melakukan pendidikan komunikasi lintas budaya. Diantara strategi pendidikan komunikasi lintas budaya adalah memberlakukan pendidikan multikultural yang terintegrasi pada setiap mata pelajaran di setiap satuan pendidikan. Inti pendidikan multikultural adalah, demokratisasi, humanisasi dan pluralis (Sutrisno, L. 2003; Suryadinata, L., dkk. 2003).
5. Masalah Kriminalitas
Kriminalitas atau tindakan kriminal merupakan problem sosial yang bersifat laten (selalu ada dalam kehidupan masyarakat atau negara manapun), namun tindakan kriminal bukanlah penyimpangan perilaku yang dibawa sejak lahir, tetapi tindakan kriminal merupakan hasil dari sosialisasi sub budaya menyimpang. Tindakan kriminal sering dikategorikan sebagai tindak pidana atau tindakan yang melanggar hukum pidana. Diantara contoh tindakan kriminal adalah: korupsi, pencurian, pembunuhan, perampokan, penipuan atau pemalsuan, penculikan, perkosaan, sindikat narkotik atau penyalahgunaan obat terlarang.
Hal-hal yang mendorong terjadinya perilaku menyimpang dalam bentuk tindakan kriminal antara lain: (1) terjadinya perubahan sosial, politik, ekonomi yang bersifat revolusi, misalnya terjadi peperangan; (2) terjadinya kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat yang begitu besar, sebagai akibat kesalahan strategi atau perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan; (3) adanya peluang atau kesempatan untuk terjadinya tindakan kriminal, karena alat-alat penegak hukum tidak tegas atau tidak ada kepastian hukum di masyarakat; (4) pemerintah yang lemah (tidak bersih) dan aparat pemerintah yang korup, atau banyak muncul penjahat kerah putih (white collar crime) di setiap departemen pemerintah atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga ekonomi; (5) meningkatnya jumlah penduduk yang tidak terkendali, sehingga jumlah pengangguran dan urbanisasi meningkat; (6) kondisi kehidupan keluarga yang disintegratif; dan (7) berkembangnya sikap mental negatif, misalnya: hedonistis, konsumersitis, suka menempuh jalan pintas dalam meraih tujuan dan sejenisnya (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984; Soetomo, 1995).
Pendekatan atau metode yang dapat ditempuh untuk mencegah terjadinya tindakan kriminal adalah: (a) metode preventif, yaitu cara pencegahan melalui pemberian informasi (penyuluhan), pendidikan, pelaksanaan program pembangunan yang benar; (b) metode represif, yaitu cara pencegahan melalui pemberian hukuman, penangkapan dan pemenjaraan sampai pada penembakan. Metode terbaik dalam menangani tindak kriminal adalah metode preventif (Wilis,S. 1994).
6. Masalah aksi protes, pergolakan daerah, dan pelanggaran HAM
Aksi protes, pergolakan daerah dan pelanggaran HAM, merupakan masalah sosial yang cukup kompleks, dan menuntut adanya perhatian khusus dalam pemecahannya. Telebih kondisi sosial budaya masyarakat yang multikultural, seperti di Indonesia. Hampir setiap hari terjadi aksi protes dan demonstrasi di daerah-daerah. Hal ini tentu dapat mengganggu proses perubahan atau pembangunan masyarakat.
Diantara sebab terjadinya aksi protes, pergolakan daerah dan pelanggaran HAM, antara lain: (1) terjadinya dominasi mayoritas kepada minoritas disertai dengan tindakan sewenang-wenang dalam berbagai aspek kehidupan; atau adanya pemaksaan kehendak antar kelompok di masyarakat; (2) terjadinya kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat yang sangat tinggi; (3) terjadinya perebutan antar kelompok di masyarakat tentang sumber-sumber mata pencaharian hidup; (4) adanya pemaksaan ideologi kelompok satu kepada kelompok lainnya (berkembangnya sikap eksklusifisme/ primordialisme); dan (5) adanya tradisi masa lalu sebagai warisan sejarah tentang konflik antar kelompok atau antar ethnik.
Ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan dalam proses pembangunan masyarakat Indonesia, untuk meminimalkan terjadinya aksi protes, demonstrasi, tindak kriminal, dan pelanggaran HAM, antara lain: (1) merumuskan pokok-pokok kebijakan pembangunan masyarakat, antara lain: (a) pembangunan harus memihak rakyat, dinamis-berkelanjutan, menyeluruh, terpadu dan terkoordinasikan; (b) pembangunan harus memanfaatkan secara baik sumber daya masyarakat dan meningkatan partisipasi peran masyarakatnya; (2) memprioritaskan pembangunan SDM, yaitu membangun ketaatan pada prinsip-prinsip moral (hukum) dan agama; sikap kesetiakawanan sosial; kreativitas;
produktivitas; pengembangan rasionalitas; dan kemampuan menegakkan kemandirian untuk berkarya; (3) program yang disusun di sektor pembangunan masyarakat, betul-betul memperhatikan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat, dengan memperhatikan skala prioritas dan kondisi lingkungan fisik serta sosio-budaya masyarakatnya; (4) proses pembangunan sosial, ekonomi dan politik masyarakat, harus lebih meningkatkan kearah otonomi daerah dan otonomi masyarakat yang lebih berkualitas; (5) proses pelaksanaan pembangunan masyarakat hendaknya dilakukan secara demokratis, transparansi dan akuntabel dalam pengelolaan keuangan; dan (6) karena basis ekonomi masyarakat Indonesia adalah pertanian, maka program pembangunan harus berbasis pada pembangunan teknologi pertanian di pedesaan (Usman, S., 1998; Dwipayana, Ari (Ed). 2003; Tjokrowinoto, 2004)
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, F.M. 1982. Modern Sociological Theory, An Introduction, Oxford University Press. Delhi.
Biesanz, J. and Biesanz, M. 1969. Introduction to Sociology, Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs. New Jersey.
Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984. Social Problems, Second edition. Harper & Row Publishers. New York.
Dwipayana, Ari (Ed). 2003. Membangun Good Governance di Desa, Institue for Research and Empowerment (IRE). Yogyakarta.
Green, A. W. 1972. Sociology. An Analysis of Life in Modern Society, Sixth Edition. Mc Graw-Hill Book Company New York.
Horton, P. and Hunt, C.L. 1984. Sociology, Sixth Edition. Mc. Graw-Hill Book Company. London.
Liliweri, A.. 2005. Prasangka dan Konflik. Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural. PT. LkiS. Yogyakarta.
Mack, R. and Pease, J. 1973. Sociolgy and Social Life, Fifth Edition. D.Van Nostrand Company. New York.
Nugroho, F, (eds). 2004. Konflik dan Kekerasan Pada Aras Lokal, Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Pola. J.B.A.F.Major. 1991. Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas. PT. Ichtiar Baru. Jakarta.
Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003. Modern Sociological Theory. Sixth edition. Alimandan (penerjemah). Teori Sosiologi Modern. 2004. Prenada Media. Jakarta.
Rose, A. M. 1965. Sociology, the Study of Human Relations, Second edition. Alfred Knopf. New York.
Soekanto, S., 2002. Pengantar Sosiologi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Soetomo, 1995. Masalah Sosial dan Pembangunan. Pustaka Jaya. Jakarta.
Sudarsono, 1995. Kenakalan Remaja. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta
Sunarto, K. 2000. Pengantar Sosiologi. LPFE- UI. Jakarta.
Suryadinata, L., dkk. 2003. Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama Dalam Era Perubahan Politik. (Terjemahan) LP3ES. Jakarta.
Sutrisno, L. 2003. Konflik Sosial, Studi Kasus Indonesia, Tajidu press. Yogyakarta.
Sztompka, P. 1993. The Sociology of Social Change, Alimandan (penerjemah). Sosiologi Perubahan Sosial. 2004. Prenada Media. Jakarta.
Tjokrowinoto, W. 2004. Pembangunan Dilema dan Tantangan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Usman, S. 1998. Pembangunan dan Pemberdayan Masyarakat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Warnaen, S. 2002. Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multietnis. Mata Bangsa. Jakarta.
Wilis,S. 1994. Problema Remaja dan Pemecahannya. Penerbit Angkasa. Bandung
Wilson, E.K. 1966. Sociology, Rules and Relationships, The Dorsey Press. Homewood, Illinois.
RIWAYAT HIDUP PENULIS: Arifin, lahir di Lamongan, tanggal 01 Januari 1960. Tamat Madrasah Ibtidaiyah 1973; Melanjutkan ke PGAP Paciran Lamongan lulus 1978. Pondok Pesantren Karangasem di Paciran Lamongan tahun 1973-1978; Melanjutkan ke PGAAN Malang lulus 1980; Lulus S1 IKIP Negeri Malang Prodi Sejarah-Antropologi 1984 (Yudisium Sangat Memuaskan); Lulus Pascasarjana (S2) Magister Sain Sosiologi Pedesaan dari UMM 2002 (Yudisium Cumlaude); Lulus Doktor (S3) Kekhususan Sosiologi Pedesaan dari Universitas Brawijaya Malang 2007-2008 (Yudisium Sangat Memuaskan). Profesi yang ditekuni sampai sekarang adalah sebagai pendidik (Guru Sosiologi SMA Islam Malang, sejak 1985- sekarang; Dosen Prodi Sejarah-Sosiologi IKIP Budi Utomo Malang sejak tahun 1987-sekarang; Dosen Luar Biasa di FISIP (Sosiologi) Universitas Brawijaya Malang sejak tahun 2004–2009; Dosen Pascasarjana (S2) Universitas Gresik sejak tahun 2008-sekarang. Pangkat fungsional Dosen Lektor Kepala, Pangkat PNS IV/b. (Pembina Tk.1) NIP: 19600101199403 1 009. Berbagai karya tulis berupa buku: (1) Sosiologi Untuk SMA; (2) Dasar-Dasar Logika dan Filsafat Ilmu; (3) Pengantar Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif; (4) Assessment dan Perencanaan Pendidikan; (5) Sistem Sosial Budaya Masyarakat Indonesia; dan (6) tiga belas Laporan Penelitian Mandiri; Sepuluh Artikel Ilmiah di Jurnal atau Majalah Pendidikan. Konsultan pendidikan dan research. Aktif sebagai penyaji makalah dalam seminar dan Diklat Regional maupun Nasional tentang pengembangan profesional guru. Aktif sebagai Pembina empat Kelompok Kajian Sosiologi Agama di Kota Malang. Semoga Tuhan memaafkan semua kesalahan penulis.
Sumber : Hasil Penataran Guru di Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar